Rasanya
sudah habis kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang masih gue pendam hingga
sekarang ke Uke. Tidak ada pilihan lain selain tetap menulis dan menjalani hari
seperti biasa. Mencari kesibukan baru, lama, usang, kesana, kemari, sama saja.
Bukankah
itu namanya menjalani hidup?
Selalu
diingatkan oleh siapapun yang mengenal Uke. Perbincangan oleh adiknya, Bunga,
obrolan kecil dengan teman kerja dan suami. Lalu sekian malam yang gue lalui
untuk berdoa ditujukan ke Uke almarhum.
Gue
menanti kapan luka ini akan sembuh, tapi nampaknya itu akan mengering dengan
sendirinya, tidak bisa gue paksakan dengan membabi buta. Jadi ya sudah, nikmati
saja pedihnya, rindunya, sedihnya, air matanya, kenangan-kenangannya. Karena
hanya itu yang bisa gue lakukan selain berdoa.
Belajar
tentang luka akan kehilangan mungkin baru sekarang.
Belajar
tentang berdamai dengan perasaan yang dalam mungkin juga baru sekarang. Masih banyak
pertanyaan, kenapa, jika, bilamana berterbangan dalam benak, berarti itu
pertanda gue belum ikhlas.
Tapi
satu hal yang gue yakini, kepergian Uke memang sudah menjadi pilihan Tuhan yang
terbaik untuk semuanya. Yakini saja itu.
Dan
gue akan terus menulis, terus melanjutkan hari, dimulai dengan berani membuka folder foto, mulai
kembali mendengarkan lagu-lagu yang biasa kami dengar bersama, mulai
melihat-lihat lagi semua koleksi desain dia yang ada di kantor gue. Setidaknya gue
mengalami kemajuan. Tidak lagi melulu isi air mata, meski kerongkongan terasa
seperti tersedak tapi muka gue tidak lagi banjir dan basah seperti yang
sudah-sudah.
Mampirlah
sebentar dalam mimpi, jika itu masih mungkin, Ke. Tapi jika tidak ya gue
sampaikan salam melalui alunan doa diantara dua sujud. Untuk elo, bokap dan
adik gue yang sudah bersama-sama elo disana.
02
Agustus 2012 / Kamis
pk.
14.15 WIB
No comments:
Post a Comment