Dulu
ketika saya masih duduk di sekolah dasar, saya ingat betul, kalau orang tua
saya sempat mengangkat anak dari panti asuhan. Seorang anak laki-laki. Lebih tua
beberapa tahun dari saya. Namanya Yulianto. Kami sering menghabiskan waktu
bersama selayaknya anak-anak. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah. Seluruh
keluarga menyayangi dia selayaknya anak sendiri, sedarah sedaging.
Lalu
ketika beranjak besar, ada yang berubah. Saya dengar om-om saya mulai kasak
kusuk, kalau katanya Yulianto berubah jadi ‘bencong’. Dan nada-nada sumbang
mulai berkumandang di rumah. Saya belum paham. Apa itu bencong, apa itu waria. Tapi
beberapa om saya sudah mulai wanti-wanti bilang ke saya dan saudara-saudara
saya untuk berhati-hati, “Yulianto sudah jadi bencong!”. Entah kenapa, saya
saat itu tidak suka mendengarnya. Karena terdengar kasar, tidak sopan, tidak
manusiawi, dan saya ambil sikap tidak peduli. Saya tetap memperlakukan Yuli
(nama panggilannya saat itu) seperti biasa.
Namun
berjalan seiringnya waktu, terlihatlah perubahan-perubahan besar dari seorang
Yuli. Dari cara bicaranya, cara duduknya, cara menatap, dan lain-lain. Saya mulai
bertanya-tanya. Entah apa yang dikatakan oleh orang tua saya, namun lama
setelah itu Yuli tidak ada lagi di rumah. Mama saya bilang, “Yuli sudah mau
melanjutkan sekolah, jadi tidak perlu ada di rumah ini lagi”. Saya sedih tentu
saja. Kehilangan kakak yang biasa jadi tempat bicara dan bercanda.
Saya
lupa tepatnya kapan, namun dari pembicaraan saya dengan orang tua saya, mereka
membenarkan kalau Yuli sudah memilih untuk menjadi waria. Saya bertanya, apa
itu waria? Mereka bilang waria itu singkatan dari wanita pria. Dan hebatnya,
orang tua saya tidak menjelek-jelekkan Yuli. Tidak juga melarang Yuli untuk
tetap ke rumah, tidak juga melarang kami anak-anaknya untuk tetap bergaul sama
Yuli. Saya ingat betul, ayah saya bilang, “Apapun dan bagaimanapun Yuli, dia
tetap bagian dari keluarga kita. Mau jadi bencong atau apalah, dia tetap anak
asuh mama sama papa, jadi kita tetap harus saling menghargai dan menghormati”. Kalimat
ayah saya itu saya amini 100%. Saya setuju lahir bathin. Buat saya Yuli ataupun
siapa namanya nanti, dia tetap kakak saya. Titik.
Selang
berapa lama kemudian, Yuli mulai berani main ke rumah lagi, kali ini sudah
berubah 180 derajat. Totally change. Dia bahkan minta dipanggil dengan nama
yang berbeda. Yolanda. “Jangan panggil gue Yulianto lagi ya nek, nama gue
sekarang Yolanda, catet!” begitu katanya sambil meliuk-liuk dan mengedipkan
mata, khas gaya bicara yang genit. Saya tertawa dan tidak keberatan sama
sekali. Kakak laki-laki angkat saya minta dipanggil Yolanda dan minta diakui
orientasi seksual dan gendernya. Saya tidak keberatan. Pada saat itu saya hanya
berpikir, okelah dia begitu, itu pilihan hidup dia sendiri. Semua tanggung
jawab akan dia pikul sendiri. Saya akan tetap mengasihi dia selayaknya saudara
seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah.
Lalu
peran dia di rumah mulai berubah. Karena dia mulai usaha salon, dia jadi
kapster pribadi di rumah. Mulai dari potong rambut, creambath, pijat, dan
lain-lain, dia jadi langganan pribadi kami sekeluarga.
Sesungguhnya
saya banyak belajar dari Yolanda. Terutama bahasa-bahasa ‘binan’ atau banci. Kami
mulai memperbanyak perbendaharaan kata. Atau sekedar dia cerita tentang kisah
cintanya, atau kisah cinta teman-temannya sesama waria. Atau pengalaman
teman-temannya, sesungguhnya itu cerita yang sangat menarik, saya menikmatinya.
Menambah wawasan.
Atau
juga sekedar cerita-cerita dia tentang bronis2 (berondong manis) kecengannya,
dia mengaku tidak pernah mau ambil serius, karena itu hanya itu senang-senang. Setahu
saya juga Yolanda tidak pernah memiliki pasangan serius, buat saya kehidupan
percintaannya itu misterius. Dia lebih suka berbagi tentang pengalaman cinta
teman-temannya. Atau tentang laki-laki beristri yang naksir dia. Yang buat saya
tercengang, “Kok sudah punya istri masih suka lelaki?” Maka dia akan dengan
detail menjelaskan. Sudut pandangnya, pengamatannya, dan lain-lain. Sungguhlah membuat
bulu kuduk saya merinding. Dia bilang, “Hati-hati saja ya nek, nggak semua
lekong itu lekong tulen. Jij harus hati-hati. Kadang dibelakang jij mereka juga
suka jajan sama waria.” Saya hanya menelan ludah dan berusaha mencerna maksud
omongannya. Berdoa juga, semoga nanti saya dapat laki-laki yang jujur akan
minat dan fantasi seksualitasnya.
Saya
beberapa waktu lalu bertanya sama dia,
“Sebenarnya
sejak kapan sih lo berubah jadi gini?” dan dijawab sama dia dengan tenang,
“Ih
Lan, gue sih sejak umur 5 tahun sudah ‘bolong’ tau di asrama.”
“Siapa
yang ‘bolongin’?” tanya saya makin penasaran.
“Ya
kakak-kakak asrama gue lah. Tapi gue nggak nyesel. Gue malah menikmatinya. Gue enjoy
kok jadi begini.” Jawab dia tetap dengan air muka yang datar dan nada suara
yang tenang. Lalu saya tidak menuntaskan pertanyaan saya. Saya pikir cukup. Apalagi
yang mau dijadikan argumentasi? Toh dia sudah menekankan, kalau dia menyadari,
dia paham kalau dia menikmatinya, dan dia merasa tidak ada masalah dengan itu. Yang
saya hanya perlu tekankan ke diri saya sendiri adalah saya tidak akan
melarangnya, atau memaksa dia untuk kembali normal menjadi laki-laki dengan
orientasi seksual hetero, dia tetap manusia seutuhnya, memiliki kesadaran penuh
dalam memilih jalan hidupnya.
Makanya
saya suka bingung ya, kenapa sih suka ada orang yang mencibir gay. Bahkan beberapa
teman-teman gay saya mengatakan, justru orang-orang yang homophobic (prejudiced against homosexual people) itu memiliki kecenderungan
untuk menjadi homo. Istilah kerennya ‘gay in denial’. Karena mereka justru
takut untuk ketahuan.
Dulu,
ketika Taman Lawang masih ramai, siapa yang tidak tahu daerah situ?
Waria-warianya cantik-cantik dan seksi seksi. Kemulusan dan tubuhnya
molek-molek melebihi perempuan. Pelanggannya siapa? Laki-laki yang mengaku
hetero. Laki-laki yang mengaku normal. Alasan mereka kalau ditanya, “Ah itu kan
hanya variasi kehidupan seks gue aja.” Tapi tidak jarang juga banyak dari
teman-teman cowok saya yang sudah beberapa kali mengencani waria mengakui kalau
‘service’ waria itu jauh lebih enak dibanding perempuan. Nah! Bagaimana dengan
itu?
Saya
sih berprinsip, siapalah saya, berhak menghakimi orang lain? Toh saya tidak
lebih sempurna dari teman-teman saya yang gay.
Jakarta, 2 September 2012