Thursday, August 9, 2012

ISTRI DENGAN KANTONG KRESEK PLASTIK


Dulu awal tahun 2000 an ketika saya masih bekerja disalah satu LSM tentang HIV/AIDS di area Jakarta Pusat, saya memiliki pengalaman menarik yang hingga kini saya tidak mampu melupakannya. Mungkin kali ini saya coba untuk menceritakannya kembali dalam bentuk tulisan, setelah sekian lama dia hanya bertahan dalam kenangan saya.

Awal cerita dimulai dari pekerjaan saya sebagai Manajer Kasus untuk teman2 ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) pada tahun 2000 an disebuah LSM. Pekerjaan saya itu adalah bertanggung jawab untuk membantu memfasilitasi teman2 ODHA mengelola hal-hal terkait dengan isu kesehatan mereka, mulai dari memberikan informasi mengenai kesempatan untuk tes CD4, viral load, konseling kepatuhan minum obat ARV, menjembatani untuk berbicara dengan pihak keluarga mengenai status HIV mereka, lalu juga merujuk ke RS apabila ada teman-teman ODHA yang sudah membutuhkan perawatan lebih, dan karena sebagian besar dari mereka adalah pengguna narkotika suntik, saya juga memberikan informasi mulai dari persoalan adiksi, coping with craving, tempat rehabilitasi, tempat detoks, informasi soal pengobatan substitusi oral dan informasi lain-lain terkait adiksinya.

Hal-hal diluar itu yang paling mengisi warna akan aktifitas pekerjaan saya itu adalah apabila ada yang mulai sakit dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit, jam kerja saya menjadi tidak menentu. Terkadang hingga jauh malam saya masih berada di UGD atau bahkan menjenguk teman-teman dampingan saya. Atau ya karena sebagian besar dari teman-teman itu dari kelas menengah ke bawah, saya juga membantu untuk membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk biaya Rumah Sakit.
Intinya, menjadi Manajer Kasus adalah pengalaman yang sangat berharga. Guru kehidupan saya. Karena berkali kali saya melihat kedukaan, kematian, kemarahan dan lain-lain.

Nah ketika saya sedang mendampingi salah satu teman ODHA yang sedang dirawat di salah satu RS rujukan untuk HIV/AIDS, di kelas 3, dengan segala keterbatasannya itu pada hari ke sekian (tepatnya saya lupa) saya baru menyadari kalau pasien yang disebelah teman saya itu sudah tidak bergeming. Dalam artian, dia hanya menengok ke samping, dengan mata setengah terbuka, sarung yang tersingkap hingga ke perut, baju yang tidak dikancing, tetapi masih bernapas pelan.
Saya hampiri dan saya coba panggil, “Pak, .... pak ....” namun tidak ada jawaban. Saya dekati wajahnya, matanya seperti menatap sesuatu ke satu arah dan saya baru sadar bahwa bapak itu sedang menitikkan air mata. Namun beliau tidak bereaksi akan panggilan saya, atau bahkan tangan saya yang saya kibas-kibas di depan wajahnya.

Saya memutuskan untuk memanggil dokter. Sambil berusaha untuk menenangkan teman saya yang mulai terlihat panik melihat kondisi bapak-bapak disebelahnya.
Tidak lama dokter datang, yang kebetulan adalah seorang dokter yang sedang magang. Melakukan tindakan sedikit yang tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan tadi, dan lalu dia bertanya seperti ini,
“Mbak ngapain disini?”
“Saya sedang jenguk teman saya ini dok” jawab saya sambil menunjuk teman saya itu.
“Hati-hati ya mbak sama pasien yang ini (sambil menunjuk bapak-bapak itu), dia HIV, nular loh lewat air kencing” kata dokter itu lagi dengan wajah datar.
Dan saya terhenyak hingga mulut saya mungkin menganga. Tidak percaya dengan apa yang saya dengar barusan.
Seorang dokter bilang apa pada saya barusan? Kalau HIV menular melalui air kencing? Ya Tuhan ..... kenapa dia bisa jadi dokter ya? Saya menggigit bibir saya kuat-kuat. Nggak percaya dengan apa yang saya dengar barusan.

Tidak lama dokter itu keluar diiringi dayang-dayangnya (baca:suster) dan saya masih berdiri mematung, tergugu mendengar pernyataan dokter barusan.
Rasanya pedih sekali. Saya menatap mata teman saya dan dia menatap saya kembali dengan tatapan mata yang sulit untuk ditafsirkan.
“Coba di cek deh mbak bapak-bapak itu, kok dia nggak gerak-gerak ya?” pintanya.
Lalu saya menghampiri bapak-bapak itu dan merapihkan sarungnya, berusaha memanggil-manggil lagi tetapi tetap tidak ada respon. Saya sentuh kulitnya, tidak dingin.
Saya perhatikan dadanya, masih naik turun, oh berarti beliau masih “ada”, begitu pikir saya.

Lalu tidak lama datang seorang perempuan yang saya duga adalah istrinya. Saya memilih duduk saja, diam dan tenang disamping tempat tidur teman saya. Saya hanya ingin perhatikan perempuan yang baru datang itu.
Dia memanggil suaminya, “Pak ... “
Yang tentu saja tidak ada jawaban.
Sekali lagi dia panggil, “Pak ... pak?”
Dan bapak-bapak itu tetap diam. Tidak bergeming. Saya mulai berdiri dan mendekat.
“Mbak, kok suami saya begini? Kenapa ya?” tanyanya dengan nada mulai agak naik.
“Kurang tahu bu, ketika saya datang bapak sudah seperti itu” kata saya.
Perempuan itu mondar mandir, seperti bingung. Tetapi tidak berani menyentuh suaminya. Hanya memperhatikan dengan lekat, memanggil dan lalu mulai menangis.
“Suami saya kenapa ya mbak? Apakah saya perlu memanggil dokter? Kira-kira dia kenapa ya mbak? Kok kaku begini? Dipanggil2 tidak jawab, padahal barusan saya tinggal tidak seperti ini mbak ....” ujarnya disela isak tangis.
Saya hanya bilang, “Tenang bu .... tadi dokter sudah kesini kok, namun tidak bilang apa-apa” kata saya.
Ibu itu mulai menangis sedikit lebih kencang, pundaknya naik turun, namun tetap mondar mandir panik.
“Sebaiknya saya ngapain ya mbak?” tanyanya lagi
“Berdoa saja ya bu!” jawab saya
“Oh iya benar” jawab ibu itu lagi. Lalu ibu itu menghampiri kursi disamping tempat tidur suaminya dan merogoh sesuatu kedalam tasnya seperti mencari-cari sesuatu.
Ternyata dia menarik sebuah kantong kresek plastik berwarna hitam. Saya bingung. Buat apa ya? Saya pikir dia akan mengeluarkan buku Yasin.

Saya masih berdiri membelakangi teman saya dengan maksud supaya dia tidak usah melihat apapun dari kejadian ini. Lalu ibu-ibu itu duduk disamping suaminya sambil menangis. Lalu kejadian aneh dimulai. Ibu-ibu itu membungkus tangan kanannya dengan kantong kresek hitam tadi, dan dia mulai membelai-belai kepala dan wajah suaminya dengan tangan terbungkus kantong plastik kresek hitam.

Saya membeku dan terpana. Apa-apaan ini? Istrinya sendiri bahkan tidak mau menyentuh suaminya secara wajar dan manusiawi dihela napasnya yang mungkin tinggal sebentar lagi? Ini siapa yang bodoh dan dibodohi sih? Dokter tadi yang tidak menjelaskan masalah kesehatan suaminya dengan benar atau ibu ini yang minim informasi soal penularan HIV?

Belai demi belai dari tangan ibu ke kepala dan wajah suaminya itu seperti menyayat nyayat hati saya. Ingin sekali saya bilang bahwa, “Bu, HIV nggak nular kok meski ibu membelai dengan tangan telanjang seperti biasa. Ibu cium pun tidak akan menular, itu kan suami sendiri bu .... “ namun tenggorokan saya kering, lidah saya kelu, mulut saya terkunci.
Yang saya tahu saya hanya mau menangis.

Tidak tahan melihat pemandangan tersebut karena saya khawatir kemarahan saya meledak, saya memutuskan keluar kamar.
Tidak lama saya berada diluar kamar, saya lihat dokter tadi masuk ke ruangan diiringi dayang-dayangnya (baca:suster) dan tak lama kemudian terdengar ledakan tangis dari dalam kamar. Sudah saya perkirakan itu ledakan duka. Banjir air mata. Kepiluan teramat sangat. Saya bergegas masuk dan melihat ibu tadi sedang menangis tersedu-sedu disamping jenazah suaminya. Kali ini mata bapak itu telah menutup sempurna. Saya perhatikan dadanya juga tidak ada gerakan naik turun seperti yang beberapa saat lalu masih ada. Bapak itu telah ‘pergi’ dengan sentuhan terakhir diusap oleh kantong plastik kresek. Oleh istrinya. Pasangan hidupnya.


 Saya mendekati tempat tidur teman saya. Tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mampu tepatnya. Karena pasti isi pikirannya penuh oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya. Teman sekamarnya baru saja ‘pergi’ sementara dia menyaksikannya. Hening. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Saya hanya sedih. Sedih karena kemiskinan informasi mengenai cara penularan HIV masih butuh perjuangan panjang. Betapa sulitnya meluruskan dan memberikan informasi yang benar, sehingga apa yang saya dengar tadi diruangan itu tidak terjadi lagi. Bagaimana seorang dokter bisa memberikan pernyataan yang ngawur, bahwa HIV menular melalui air kencing. Sehingga apa yang saya lihat tadi, bagaimana seorang istri harus membelai kepala dan wajah suaminya yang sudah hendak beranjak ‘pergi’ dengan menggunakan kantong kresek plastik hitam karena takut tertular.
Bagaimana bisa hal itu terjadi? Sementara kalian berbagi hidup telah sekian lama, membuahkan anak, mengarungi waktu dalam senang dan duka, belum tentu juga ibu itu bebas HIV ... Ya?

Entah. Saya tidak sanggup berkomentar apapun lagi. Lemah lunglai. Saya perlu membangun kembali semangat saya. Betapa perjalanan untuk memperjuangkan isu HIV dan AIDS ini masih teramat panjang.

Semoga semangat saya untuk terus bekerja di isu ini tidak dibungkus oleh kantong kresek hitam.
Semoga.
Karena sekarang sudah 2012, tetapi masih saja saya temukan broadcast message di BBM mengenai cara penularan HIV dengan cara menyesatkan. Masih saja ada Rumah Sakit yang menolak pasien HIV dan AIDS. Dan sekarang semakin banyak saya tahu dan melihat ibu-ibu rumah tangga dan anak yang lahir dengan HIV.

Bagaimana dengan itu?

Senin, 06 Agustus 2012 

No comments:

Post a Comment