Friday, August 10, 2012

CINTA DAN KECANDUAN


Cinta, cinta dan cinta. Rasanya hidup jadi kurang bermakna tanpa cinta. Apalagi kita sebagai pecandu (baik yang masih aktif, menjalani pemulihan ataupun sedang menjalani terapi substitusi oral) cenderung ‘buram’ akan makna dari cinta itu sendiri begitupun dengan suatu hubungan yang “sehat”. Bagaimana selama ini kita menikmati rasa cinta, menyikapi pasangan, menyikapi suatu hubungan, kegelisahan-kegelisaha yang terus ada dalam diri kita dan kita cenderung untuk terus mencari dan mencari seseorang yang patut untuk menenangkan kita. Mari simak apa kata psikolog tentang hal ini.

Penjelasan dibawah ini hanya untuk memberikan tambahan wawasan teman-teman tentang CINTA dan KECANDUAN.

Selamat membaca dan jangan lupa untuk direnungkan kedalam hati dan pikiran masing-masing ya. Barangkali ada yang merasakan dan mengalami hal yang sama J

  1. Mengapa pecandu pada bulan-bulan pertama dilarang untuk membuat suatu hubungan?

Bulan-bulan pertama masa pemulihan adalah masa yang cukup sulit bagi pecandu, baik fisik maupun psikologis. Tubuh secara keseluruhan (metabolisme, pola pikir, sensitifitas perasaan dll) menjalani masa penyesuaian diri yang cukup drastis. Yang paling sering timbul adalah rasa tidak nyaman karena lepas dari ketergantungan suatu zat. Dalam kondisi seperti ini, bila mereka menjalin suatu hubungan asmara, maka hubungan tersebut menjadi mudah rapuh. Pasangan bisa susah memahami kita, karena kita sendiri pada saat itu juga sedang sulit dan sedang berjuang melawan diri kita sendiri. Sesungguhnya bukan soal larangannya yang utama, tapi akan lebih baik kalau kita atasi dulu masalah kita baru mencoba menjalani kehidupan bersama pasangan.

  1. Kenapa pecandu cenderung rapuh akan sebuah ‘relationship’?

Sesungguhnya ini tergantung pada tahapannya. Bila pecandu berada dalam kondisi maintanance, dimana yang bersangkutan sudah merasa nyaman dengan perubahan yang terjadi pada dirinya, hubungan dapat berjalan lebih sehat dan kokoh. Tetapi bila pecandu masih berada dalam tahap precontemplation atau contemplation, dimana yang bersangkutan sendiri belum dapat menerima bahwa dirinya bermasalah dengan zat atau belum yakin perubahan perilakunya apa yang diinginkannya, maka bila mereka menjalin hubungan, yang menjadi fokus perhatian adalah dirinya sendiri (cenderung egois). Akibatnya, konflik akan lebih mudah terjadi.

  1. Sebenarnya apa yang disebut dengan LOVE ADDICTION?

Adalah seseorang yang tergantung dan terfokus secara kompulsif untuk mengurusi orang lain. Orang yang mengalami love addiction akan sangat “rajin” mengawasi, mengontrol, mengecek, mengurusi, memuaskan, melayani pasangannya. Cek setiap sms yang ada pada handphone pasangan, telepon setiap menit untuk tahu dimana dan dengan siapa pasangan berada, geledah dompet pasangan (siapa tahu ada foto orang lain), cek setiap bon-bon yang ada pada tas atau dompet pasangan, dsb. Fokus perhatian love addict hanyalah pasangannya, bahkan dirinya menjadi tidak penting lagi. Persis jika seseorang tergantung pada zat.

  1. Apa juga yang dimaksud dengan kodependensi?

Ditandai dengan terus menerus berpikir dan ketergantungan secara emosional, sosial dan seringkali fisik pada seseorang yang mengalami ketergantungan akan sesuatu (kecanduan pada pecandu). Biasanya, mau tidak mau ketergantungan ini akan menjadi patologis (tidak sehat) yang akan mempengaruhi orang ini dalam berbagai hubungan sosial lainnya. Contohnya, kodependen akan membela mati-matian si pecandu apabila ada orang yang mengkritik si pecandu. Dalam perilaku sehari-hari, susah dibedakan mana yang addict dan mana yang kodependen, sebab gejala yang keluar kurang lebih sama.

  1. Mengapa pecandu selalu mencari sosok yang strong, tegar, dan lain-lain?

Nampaknya ini dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya selama menjadi pecandu, yang membuatnya sangat rapuh sehingga dengan adanya sosok yang tegar (dalam hal ini dapat diandalkan), mereka dapat memindahkan ketergantungan zatnya kepada orang tersebut.

  1. Mengapa relationships jadi pemicu utama untuk relapse?

Tidak benar bila hubungan asmara menjadi pemicu utama untuk kambuh. Ada banyak alasan mengapa seseorang kambuh. Hubungan asmara menjadi salah satu alasan saja. Dibawah sadarnya, pecandu mencari obyek yang dapat menjadi pelampiasan rasa bersalahnya akan kekambuhan (seeking for blaming objects). Dengan adanya hubungan asmara, mereka dapat menggunakan ini sebagai alasan apabila mereka kembali kambuh.

  1. Bagaimana seharusnya pecandu belajar untuk mencintai dengan bijaksana tanpa membahayakan recovery?

Intinya adalah pecandu harus belajar lebih dahulu mencintai dirinya sendiri. Ketika ia masih aktif tergantung pada zat, dia mengutamakan zat tersebut dan menyingkirkan kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Bila pecandu sudah dapat menyayangi dirinya (tidak sama artinya dengan egois loh) maka biasanya mereka dapat mencintai orang lain dengan lebih proporsional. Mereka tidak akan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan dirinya hanya karena cinta pada seseorang.

  1. Apakah unsur trauma mempengaruhi seseorang dalam memandang cinta?

Trauma adalah pengalaman dimasa lalu yang menimbulkan luka psikologis yang sangat dalam. Seringkali hal ini mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dikemudian hari (sekalipun mungkin yang bersangkutan telah menjalani terapi), tidak hanya dalam masalah cinta. Tentu saja yang perlu dicari tahu adalah trauma apakah yang dialaminya. Orang yang mengalami trauma seksual tentu tidak sama reaksinya dengan trauma akibat bencana alam.

  1. Bagaimana caranya memulihkan trauma akan cinta dan relationship?

Sebelumnya didefinisi ulang dulu apa yang dimaksud dengan trauma. Saat ini dalam percakapan sehari-hari kaum muda gampang sekali bilang trauma. Seperti yang sudah saya terangkan diatas, trauma adalah luka psikologis yang mendalam. Biasanya kejadian tidak hanya menyangkut verbal abuse tetapi juga physical abuse. Secara statistik hal ini lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki. Cara pemulihannya? Perlu dikaji lebih dahulu derajat traumanya. Kalau terlalu dalam (mungkin dialami ketika masih sangat kecil dimana yang bersangkutan sangat tidak berdaya pada waktu itu), perlu bantuan terapis (psikiater dan psikolog). Kalau tidak terlalu dalam (baru dialami, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena sudah cukup dewasa), dapat dilakukan terapi diri. Lakukan relaksasi apabila kejadian traumatis tiba-tiba berkelebat dalam pikiran, memulai aktivitas setiap hari dengan pikiran positif (masih banyak potensi lain pada diri saya, kejadian itu hanya sebagian kecil dari kehidupan saya yang lebih besar, misalnya). Mengakhiri aktifitas setiap hari dengan bersyukur (grateful feeling, “terima kasih hari ini saya telah melakukan ini, itu, ini dan .... dengan baik”. “Terima kasih, saya sehat hari ini ...”



Tulisan ini dibuat sekitar tahun 2005 an.
Pertanyaan diajukan oleh Sekar Wulan Sari dan jawaban oleh Riza Sarasvita Pramudyo (psikolog).


No comments:

Post a Comment