Cinta,
cinta dan cinta. Rasanya hidup jadi kurang bermakna tanpa cinta. Apalagi kita
sebagai pecandu (baik yang masih aktif, menjalani pemulihan ataupun sedang
menjalani terapi substitusi oral) cenderung ‘buram’ akan makna dari cinta itu
sendiri begitupun dengan suatu hubungan yang “sehat”. Bagaimana selama ini kita
menikmati rasa cinta, menyikapi pasangan, menyikapi suatu hubungan,
kegelisahan-kegelisaha yang terus ada dalam diri kita dan kita cenderung untuk
terus mencari dan mencari seseorang yang patut untuk menenangkan kita. Mari simak
apa kata psikolog tentang hal ini.
Penjelasan
dibawah ini hanya untuk memberikan tambahan wawasan teman-teman tentang CINTA
dan KECANDUAN.
Selamat
membaca dan jangan lupa untuk direnungkan kedalam hati dan pikiran
masing-masing ya. Barangkali ada yang merasakan dan mengalami hal yang sama J
- Mengapa pecandu pada
bulan-bulan pertama dilarang untuk membuat suatu hubungan?
Bulan-bulan pertama masa pemulihan adalah masa yang
cukup sulit bagi pecandu, baik fisik maupun psikologis. Tubuh secara
keseluruhan (metabolisme, pola pikir, sensitifitas perasaan dll) menjalani masa
penyesuaian diri yang cukup drastis. Yang paling sering timbul adalah rasa
tidak nyaman karena lepas dari ketergantungan suatu zat. Dalam kondisi seperti
ini, bila mereka menjalin suatu hubungan asmara, maka hubungan tersebut menjadi
mudah rapuh. Pasangan bisa susah memahami kita, karena kita sendiri pada saat
itu juga sedang sulit dan sedang berjuang melawan diri kita sendiri. Sesungguhnya
bukan soal larangannya yang utama, tapi akan lebih baik kalau kita atasi dulu
masalah kita baru mencoba menjalani kehidupan bersama pasangan.
- Kenapa pecandu
cenderung rapuh akan sebuah ‘relationship’?
Sesungguhnya ini tergantung pada tahapannya. Bila pecandu
berada dalam kondisi maintanance,
dimana yang bersangkutan sudah merasa nyaman dengan perubahan yang terjadi pada
dirinya, hubungan dapat berjalan lebih sehat dan kokoh. Tetapi bila pecandu
masih berada dalam tahap precontemplation
atau contemplation, dimana yang
bersangkutan sendiri belum dapat menerima bahwa dirinya bermasalah dengan zat
atau belum yakin perubahan perilakunya apa yang diinginkannya, maka bila mereka
menjalin hubungan, yang menjadi fokus perhatian adalah dirinya sendiri
(cenderung egois). Akibatnya, konflik akan lebih mudah terjadi.
- Sebenarnya apa yang
disebut dengan LOVE ADDICTION?
Adalah seseorang yang tergantung dan terfokus
secara kompulsif untuk mengurusi orang lain. Orang yang mengalami love addiction akan sangat “rajin”
mengawasi, mengontrol, mengecek, mengurusi, memuaskan, melayani pasangannya. Cek
setiap sms yang ada pada handphone pasangan, telepon setiap menit untuk tahu
dimana dan dengan siapa pasangan berada, geledah dompet pasangan (siapa tahu
ada foto orang lain), cek setiap bon-bon yang ada pada tas atau dompet
pasangan, dsb. Fokus perhatian love
addict hanyalah pasangannya, bahkan dirinya menjadi tidak penting lagi. Persis
jika seseorang tergantung pada zat.
- Apa juga yang dimaksud
dengan kodependensi?
Ditandai dengan terus menerus berpikir dan
ketergantungan secara emosional, sosial dan seringkali fisik pada seseorang
yang mengalami ketergantungan akan sesuatu (kecanduan pada pecandu). Biasanya,
mau tidak mau ketergantungan ini akan menjadi patologis (tidak sehat) yang akan
mempengaruhi orang ini dalam berbagai hubungan sosial lainnya. Contohnya,
kodependen akan membela mati-matian si pecandu apabila ada orang yang
mengkritik si pecandu. Dalam perilaku sehari-hari, susah dibedakan mana yang
addict dan mana yang kodependen, sebab gejala yang keluar kurang lebih sama.
- Mengapa pecandu selalu
mencari sosok yang strong, tegar, dan lain-lain?
Nampaknya ini dipengaruhi oleh latar belakang
pengalamannya selama menjadi pecandu, yang membuatnya sangat rapuh sehingga
dengan adanya sosok yang tegar (dalam hal ini dapat diandalkan), mereka dapat
memindahkan ketergantungan zatnya kepada orang tersebut.
- Mengapa relationships jadi pemicu utama
untuk relapse?
Tidak benar bila hubungan asmara menjadi pemicu
utama untuk kambuh. Ada banyak alasan mengapa seseorang kambuh. Hubungan asmara
menjadi salah satu alasan saja. Dibawah sadarnya, pecandu mencari obyek yang
dapat menjadi pelampiasan rasa bersalahnya akan kekambuhan (seeking for blaming objects). Dengan adanya
hubungan asmara, mereka dapat menggunakan ini sebagai alasan apabila mereka
kembali kambuh.
- Bagaimana seharusnya
pecandu belajar untuk mencintai dengan bijaksana tanpa membahayakan recovery?
Intinya adalah pecandu harus belajar lebih dahulu
mencintai dirinya sendiri. Ketika ia masih aktif tergantung pada zat, dia
mengutamakan zat tersebut dan menyingkirkan kesehatan dan kesejahteraan
dirinya. Bila pecandu sudah dapat menyayangi dirinya (tidak sama artinya dengan
egois loh) maka biasanya mereka dapat mencintai orang lain dengan lebih
proporsional. Mereka tidak akan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan
dirinya hanya karena cinta pada seseorang.
- Apakah unsur trauma
mempengaruhi seseorang dalam memandang cinta?
Trauma adalah pengalaman dimasa lalu yang menimbulkan
luka psikologis yang sangat dalam. Seringkali hal ini mempengaruhi seseorang
dalam berperilaku dikemudian hari (sekalipun mungkin yang bersangkutan telah
menjalani terapi), tidak hanya dalam masalah cinta. Tentu saja yang perlu
dicari tahu adalah trauma apakah yang dialaminya. Orang yang mengalami trauma
seksual tentu tidak sama reaksinya dengan trauma akibat bencana alam.
- Bagaimana caranya
memulihkan trauma akan cinta dan relationship?
Sebelumnya didefinisi ulang dulu apa yang dimaksud
dengan trauma. Saat ini dalam percakapan sehari-hari kaum muda gampang sekali
bilang trauma. Seperti yang sudah saya terangkan diatas, trauma adalah luka
psikologis yang mendalam. Biasanya kejadian tidak hanya menyangkut verbal abuse tetapi juga physical abuse. Secara statistik hal ini
lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki. Cara pemulihannya? Perlu dikaji
lebih dahulu derajat traumanya. Kalau terlalu dalam (mungkin dialami ketika
masih sangat kecil dimana yang bersangkutan sangat tidak berdaya pada waktu
itu), perlu bantuan terapis (psikiater dan psikolog). Kalau tidak terlalu dalam
(baru dialami, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena sudah cukup dewasa),
dapat dilakukan terapi diri. Lakukan relaksasi apabila kejadian traumatis
tiba-tiba berkelebat dalam pikiran, memulai aktivitas setiap hari dengan
pikiran positif (masih banyak potensi lain pada diri saya, kejadian itu hanya
sebagian kecil dari kehidupan saya yang lebih besar, misalnya). Mengakhiri aktifitas
setiap hari dengan bersyukur (grateful feeling, “terima kasih hari ini saya
telah melakukan ini, itu, ini dan .... dengan baik”. “Terima kasih, saya sehat
hari ini ...”
Tulisan
ini dibuat sekitar tahun 2005 an.
Pertanyaan
diajukan oleh Sekar Wulan Sari dan jawaban oleh Riza Sarasvita Pramudyo
(psikolog).
No comments:
Post a Comment