Sunday, September 2, 2012

Kakak angkat saya memilih menjadi waria


Dulu ketika saya masih duduk di sekolah dasar, saya ingat betul, kalau orang tua saya sempat mengangkat anak dari panti asuhan. Seorang anak laki-laki. Lebih tua beberapa tahun dari saya. Namanya Yulianto. Kami sering menghabiskan waktu bersama selayaknya anak-anak. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah. Seluruh keluarga menyayangi dia selayaknya anak sendiri, sedarah sedaging.

Lalu ketika beranjak besar, ada yang berubah. Saya dengar om-om saya mulai kasak kusuk, kalau katanya Yulianto berubah jadi ‘bencong’. Dan nada-nada sumbang mulai berkumandang di rumah. Saya belum paham. Apa itu bencong, apa itu waria. Tapi beberapa om saya sudah mulai wanti-wanti bilang ke saya dan saudara-saudara saya untuk berhati-hati, “Yulianto sudah jadi bencong!”. Entah kenapa, saya saat itu tidak suka mendengarnya. Karena terdengar kasar, tidak sopan, tidak manusiawi, dan saya ambil sikap tidak peduli. Saya tetap memperlakukan Yuli (nama panggilannya saat itu) seperti biasa.

Namun berjalan seiringnya waktu, terlihatlah perubahan-perubahan besar dari seorang Yuli. Dari cara bicaranya, cara duduknya, cara menatap, dan lain-lain. Saya mulai bertanya-tanya. Entah apa yang dikatakan oleh orang tua saya, namun lama setelah itu Yuli tidak ada lagi di rumah. Mama saya bilang, “Yuli sudah mau melanjutkan sekolah, jadi tidak perlu ada di rumah ini lagi”. Saya sedih tentu saja. Kehilangan kakak yang biasa jadi tempat bicara dan bercanda.

Saya lupa tepatnya kapan, namun dari pembicaraan saya dengan orang tua saya, mereka membenarkan kalau Yuli sudah memilih untuk menjadi waria. Saya bertanya, apa itu waria? Mereka bilang waria itu singkatan dari wanita pria. Dan hebatnya, orang tua saya tidak menjelek-jelekkan Yuli. Tidak juga melarang Yuli untuk tetap ke rumah, tidak juga melarang kami anak-anaknya untuk tetap bergaul sama Yuli. Saya ingat betul, ayah saya bilang, “Apapun dan bagaimanapun Yuli, dia tetap bagian dari keluarga kita. Mau jadi bencong atau apalah, dia tetap anak asuh mama sama papa, jadi kita tetap harus saling menghargai dan menghormati”. Kalimat ayah saya itu saya amini 100%. Saya setuju lahir bathin. Buat saya Yuli ataupun siapa namanya nanti, dia tetap kakak saya. Titik.

Selang berapa lama kemudian, Yuli mulai berani main ke rumah lagi, kali ini sudah berubah 180 derajat. Totally change. Dia bahkan minta dipanggil dengan nama yang berbeda. Yolanda. “Jangan panggil gue Yulianto lagi ya nek, nama gue sekarang Yolanda, catet!” begitu katanya sambil meliuk-liuk dan mengedipkan mata, khas gaya bicara yang genit. Saya tertawa dan tidak keberatan sama sekali. Kakak laki-laki angkat saya minta dipanggil Yolanda dan minta diakui orientasi seksual dan gendernya. Saya tidak keberatan. Pada saat itu saya hanya berpikir, okelah dia begitu, itu pilihan hidup dia sendiri. Semua tanggung jawab akan dia pikul sendiri. Saya akan tetap mengasihi dia selayaknya saudara seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah.

Lalu peran dia di rumah mulai berubah. Karena dia mulai usaha salon, dia jadi kapster pribadi di rumah. Mulai dari potong rambut, creambath, pijat, dan lain-lain, dia jadi langganan pribadi kami sekeluarga.

Sesungguhnya saya banyak belajar dari Yolanda. Terutama bahasa-bahasa ‘binan’ atau banci. Kami mulai memperbanyak perbendaharaan kata. Atau sekedar dia cerita tentang kisah cintanya, atau kisah cinta teman-temannya sesama waria. Atau pengalaman teman-temannya, sesungguhnya itu cerita yang sangat menarik, saya menikmatinya. Menambah wawasan.
Atau juga sekedar cerita-cerita dia tentang bronis2 (berondong manis) kecengannya, dia mengaku tidak pernah mau ambil serius, karena itu hanya itu senang-senang. Setahu saya juga Yolanda tidak pernah memiliki pasangan serius, buat saya kehidupan percintaannya itu misterius. Dia lebih suka berbagi tentang pengalaman cinta teman-temannya. Atau tentang laki-laki beristri yang naksir dia. Yang buat saya tercengang, “Kok sudah punya istri masih suka lelaki?” Maka dia akan dengan detail menjelaskan. Sudut pandangnya, pengamatannya, dan lain-lain. Sungguhlah membuat bulu kuduk saya merinding. Dia bilang, “Hati-hati saja ya nek, nggak semua lekong itu lekong tulen. Jij harus hati-hati. Kadang dibelakang jij mereka juga suka jajan sama waria.” Saya hanya menelan ludah dan berusaha mencerna maksud omongannya. Berdoa juga, semoga nanti saya dapat laki-laki yang jujur akan minat dan fantasi seksualitasnya.

Saya beberapa waktu lalu bertanya sama dia,
“Sebenarnya sejak kapan sih lo berubah jadi gini?” dan dijawab sama dia dengan tenang,
“Ih Lan, gue sih sejak umur 5 tahun sudah ‘bolong’ tau di asrama.”
“Siapa yang ‘bolongin’?” tanya saya makin penasaran.
“Ya kakak-kakak asrama gue lah. Tapi gue nggak nyesel. Gue malah menikmatinya. Gue enjoy kok jadi begini.” Jawab dia tetap dengan air muka yang datar dan nada suara yang tenang. Lalu saya tidak menuntaskan pertanyaan saya. Saya pikir cukup. Apalagi yang mau dijadikan argumentasi? Toh dia sudah menekankan, kalau dia menyadari, dia paham kalau dia menikmatinya, dan dia merasa tidak ada masalah dengan itu. Yang saya hanya perlu tekankan ke diri saya sendiri adalah saya tidak akan melarangnya, atau memaksa dia untuk kembali normal menjadi laki-laki dengan orientasi seksual hetero, dia tetap manusia seutuhnya, memiliki kesadaran penuh dalam memilih jalan hidupnya.

Makanya saya suka bingung ya, kenapa sih suka ada orang yang mencibir gay. Bahkan beberapa teman-teman gay saya mengatakan, justru orang-orang yang homophobic (prejudiced against homosexual people) itu memiliki kecenderungan untuk menjadi homo. Istilah kerennya ‘gay in denial’. Karena mereka justru takut untuk ketahuan.

Dulu, ketika Taman Lawang masih ramai, siapa yang tidak tahu daerah situ? Waria-warianya cantik-cantik dan seksi seksi. Kemulusan dan tubuhnya molek-molek melebihi perempuan. Pelanggannya siapa? Laki-laki yang mengaku hetero. Laki-laki yang mengaku normal. Alasan mereka kalau ditanya, “Ah itu kan hanya variasi kehidupan seks gue aja.” Tapi tidak jarang juga banyak dari teman-teman cowok saya yang sudah beberapa kali mengencani waria mengakui kalau ‘service’ waria itu jauh lebih enak dibanding perempuan. Nah! Bagaimana dengan itu?

Saya sih berprinsip, siapalah saya, berhak menghakimi orang lain? Toh saya tidak lebih sempurna dari teman-teman saya yang gay.

“We are all hypocrites. We cannot see ourselves or judge ourselves the way we see and judge others.” 
 
José Emilio Pacheco, Battles in the Desert and Other Stories

Jakarta, 2 September 2012


Friday, August 17, 2012

“Sabar, semua akan indah pada waktunya”


Dulu banyak orang bilang pada saya, “Sabar, semua akan indah pada waktunya” dan biasanya saya hanya diam saja, enggan berkomentar. Males. Karena saya kurang percaya dengan kalimat-kalimat seperti itu jadi tidak begitu meyakininya. Buat saya sih segala sesuatu kalau bisa instan, sekejap datang, sekejap saya dapatkan.
Yah itulah saya dulu, tidak sabaran. Ngoyo. Maksa.

Tapi ketika beberapa waktu lalu saya mengalami beberapa ujian hidup yang boleh dibilang membuat saya tidak berdaya dan harus tergantung sama orang lain, lambat laun saya mulai percaya dengan kalimat itu.
Pada dasarnya saya itu tidak suka tergantung sama orang lain, sebisa mungkin saya melakukan segala sesuatunya sendiri, jadi ketika saya dikondisikan oleh Tuhan saya harus mengistirahatkan tubuh, hati dan pikiran dengan sesungguh-sungguhnya hingga memakan waktu nyaris setahun untuk pulih hingga bisa sekaligus membangun kepercayaan diri saya sendiri, saya belajar banyak sekali. Terlalu banyak hingga saya tidak bisa menjabarkan dengan berlembar-lembar halaman yang bisa diceritakan disini.
Semua itu hanya bisa saya pikirkan, rasakan, resapi dan aplikasikan.

Cobaan hidup beberapa waktu lalu itu ternyata mampu mengubah saya cukup banyak. Menjadi lebih positif melihat masalah, lebih sabar menyikapi manusia, lebih pasrah menikmati hidup. Nggak lagi terburu-buru, tidak sabaran dan uring-uringan.

Sekarang boleh dibilang lebih ‘eling’ sama lingkungan dan perasaan orang lain, bukan berarti sebelumnya saya bengis ya, nggak sama sekali, tapi saya lebih cenderung mau mendengar dan belajar peka sama perasaan orang lain.

Ternyata setelah saya mulai peka dan melihat ke diri sendiri, saya jadi lebih kenal siapa itu saya. Beberapa pertanyaan gelisah sepanjang hidup mulai terjawab satu-satu. Sederhananya ya saya memang harus yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada saya yang mengatur dan menentukan apa sesungguhnya yang terbaik untuk saya. Dan saya percaya itu!

Cobaan tahun lalu itu pukulan telak buat saya. Tidak pernah saya merasa seperti itu sebelumnya, harus menikmati semua perasaan, ketakutan akan kematian, ketidakberdayaan, kehilangan, kesakitan, dan lain-lain dalam satu waktu beruntun. Rasanya bukan saya banget harus berada pada titik itu. Ternyata saya sadari sebelumnya saya adalah manusia yang lupa untuk merunduk. Lupa untuk bersyukur.
Dan untuk mengembalikan saya menjadi manusia seperti yang sekarang ini, saya mohon maaf kepada diri saya, ibu saya dan Tuhan saya.

Kini saya mulai memahami makna dari kalimat yang orang-orang beri itu, hanya kalimat sederhana memang, “Segala sesuatu akan indah pada waktunya”. Semua hal yang pernah saya minta kepada Tuhan dengan tidak sungguh-sungguh itu (sedikit memaksa malah) setelah sekian tahun sesudahnya baru diwujudkan oleh Tuhan.
Ini membuat saya mulai paham dan bersyukur luar biasa. Yakin sajalah, kalau Dia tahu dan pasti akan memberikan disaat yang tepat dan pasti akan diberikan yang terbaik untuk umatNya.

Jadi pembelajaran yang bisa saya bagikan disini, jika kamu sedang ‘kesakitan’ karena mengalami sakit parah, kehilangan orang tersayang, kehilangan sesuatu, atau cobaan hidup dalam bentuk apapun, yakin saja pasti itu memang yang terbaik. Biasanya akan diganti oleh Tuhan dengan yang lebih baik, jika kita ikhlas. Meski kita sama-sama tahu bahwa makna dari ikhlas masih sangatlah absurd, tetapi coba dirasain saja, dinikmati dalam diam, dalam hening, dalam doa, dan keyakinan. Dan untuk mencapai kesana, proses ini sangat individual. Banyak-banyak saja meminta sama Tuhan. Coba kilas balik sebentar kehidupan kita sebelumnya, kita telah melakukan apa saja sih beberapa waktu lalu hingga harus merasakan ‘kesakitan’ ini.
Semoga Tuhan memberikan jalan dan jawaban akan kegelisahan jiwa kita. Amin!


Jumat, 17 Agustus 2012 

Friday, August 10, 2012

CINTA DAN KECANDUAN


Cinta, cinta dan cinta. Rasanya hidup jadi kurang bermakna tanpa cinta. Apalagi kita sebagai pecandu (baik yang masih aktif, menjalani pemulihan ataupun sedang menjalani terapi substitusi oral) cenderung ‘buram’ akan makna dari cinta itu sendiri begitupun dengan suatu hubungan yang “sehat”. Bagaimana selama ini kita menikmati rasa cinta, menyikapi pasangan, menyikapi suatu hubungan, kegelisahan-kegelisaha yang terus ada dalam diri kita dan kita cenderung untuk terus mencari dan mencari seseorang yang patut untuk menenangkan kita. Mari simak apa kata psikolog tentang hal ini.

Penjelasan dibawah ini hanya untuk memberikan tambahan wawasan teman-teman tentang CINTA dan KECANDUAN.

Selamat membaca dan jangan lupa untuk direnungkan kedalam hati dan pikiran masing-masing ya. Barangkali ada yang merasakan dan mengalami hal yang sama J

  1. Mengapa pecandu pada bulan-bulan pertama dilarang untuk membuat suatu hubungan?

Bulan-bulan pertama masa pemulihan adalah masa yang cukup sulit bagi pecandu, baik fisik maupun psikologis. Tubuh secara keseluruhan (metabolisme, pola pikir, sensitifitas perasaan dll) menjalani masa penyesuaian diri yang cukup drastis. Yang paling sering timbul adalah rasa tidak nyaman karena lepas dari ketergantungan suatu zat. Dalam kondisi seperti ini, bila mereka menjalin suatu hubungan asmara, maka hubungan tersebut menjadi mudah rapuh. Pasangan bisa susah memahami kita, karena kita sendiri pada saat itu juga sedang sulit dan sedang berjuang melawan diri kita sendiri. Sesungguhnya bukan soal larangannya yang utama, tapi akan lebih baik kalau kita atasi dulu masalah kita baru mencoba menjalani kehidupan bersama pasangan.

  1. Kenapa pecandu cenderung rapuh akan sebuah ‘relationship’?

Sesungguhnya ini tergantung pada tahapannya. Bila pecandu berada dalam kondisi maintanance, dimana yang bersangkutan sudah merasa nyaman dengan perubahan yang terjadi pada dirinya, hubungan dapat berjalan lebih sehat dan kokoh. Tetapi bila pecandu masih berada dalam tahap precontemplation atau contemplation, dimana yang bersangkutan sendiri belum dapat menerima bahwa dirinya bermasalah dengan zat atau belum yakin perubahan perilakunya apa yang diinginkannya, maka bila mereka menjalin hubungan, yang menjadi fokus perhatian adalah dirinya sendiri (cenderung egois). Akibatnya, konflik akan lebih mudah terjadi.

  1. Sebenarnya apa yang disebut dengan LOVE ADDICTION?

Adalah seseorang yang tergantung dan terfokus secara kompulsif untuk mengurusi orang lain. Orang yang mengalami love addiction akan sangat “rajin” mengawasi, mengontrol, mengecek, mengurusi, memuaskan, melayani pasangannya. Cek setiap sms yang ada pada handphone pasangan, telepon setiap menit untuk tahu dimana dan dengan siapa pasangan berada, geledah dompet pasangan (siapa tahu ada foto orang lain), cek setiap bon-bon yang ada pada tas atau dompet pasangan, dsb. Fokus perhatian love addict hanyalah pasangannya, bahkan dirinya menjadi tidak penting lagi. Persis jika seseorang tergantung pada zat.

  1. Apa juga yang dimaksud dengan kodependensi?

Ditandai dengan terus menerus berpikir dan ketergantungan secara emosional, sosial dan seringkali fisik pada seseorang yang mengalami ketergantungan akan sesuatu (kecanduan pada pecandu). Biasanya, mau tidak mau ketergantungan ini akan menjadi patologis (tidak sehat) yang akan mempengaruhi orang ini dalam berbagai hubungan sosial lainnya. Contohnya, kodependen akan membela mati-matian si pecandu apabila ada orang yang mengkritik si pecandu. Dalam perilaku sehari-hari, susah dibedakan mana yang addict dan mana yang kodependen, sebab gejala yang keluar kurang lebih sama.

  1. Mengapa pecandu selalu mencari sosok yang strong, tegar, dan lain-lain?

Nampaknya ini dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya selama menjadi pecandu, yang membuatnya sangat rapuh sehingga dengan adanya sosok yang tegar (dalam hal ini dapat diandalkan), mereka dapat memindahkan ketergantungan zatnya kepada orang tersebut.

  1. Mengapa relationships jadi pemicu utama untuk relapse?

Tidak benar bila hubungan asmara menjadi pemicu utama untuk kambuh. Ada banyak alasan mengapa seseorang kambuh. Hubungan asmara menjadi salah satu alasan saja. Dibawah sadarnya, pecandu mencari obyek yang dapat menjadi pelampiasan rasa bersalahnya akan kekambuhan (seeking for blaming objects). Dengan adanya hubungan asmara, mereka dapat menggunakan ini sebagai alasan apabila mereka kembali kambuh.

  1. Bagaimana seharusnya pecandu belajar untuk mencintai dengan bijaksana tanpa membahayakan recovery?

Intinya adalah pecandu harus belajar lebih dahulu mencintai dirinya sendiri. Ketika ia masih aktif tergantung pada zat, dia mengutamakan zat tersebut dan menyingkirkan kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Bila pecandu sudah dapat menyayangi dirinya (tidak sama artinya dengan egois loh) maka biasanya mereka dapat mencintai orang lain dengan lebih proporsional. Mereka tidak akan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan dirinya hanya karena cinta pada seseorang.

  1. Apakah unsur trauma mempengaruhi seseorang dalam memandang cinta?

Trauma adalah pengalaman dimasa lalu yang menimbulkan luka psikologis yang sangat dalam. Seringkali hal ini mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dikemudian hari (sekalipun mungkin yang bersangkutan telah menjalani terapi), tidak hanya dalam masalah cinta. Tentu saja yang perlu dicari tahu adalah trauma apakah yang dialaminya. Orang yang mengalami trauma seksual tentu tidak sama reaksinya dengan trauma akibat bencana alam.

  1. Bagaimana caranya memulihkan trauma akan cinta dan relationship?

Sebelumnya didefinisi ulang dulu apa yang dimaksud dengan trauma. Saat ini dalam percakapan sehari-hari kaum muda gampang sekali bilang trauma. Seperti yang sudah saya terangkan diatas, trauma adalah luka psikologis yang mendalam. Biasanya kejadian tidak hanya menyangkut verbal abuse tetapi juga physical abuse. Secara statistik hal ini lebih sering dialami perempuan daripada laki-laki. Cara pemulihannya? Perlu dikaji lebih dahulu derajat traumanya. Kalau terlalu dalam (mungkin dialami ketika masih sangat kecil dimana yang bersangkutan sangat tidak berdaya pada waktu itu), perlu bantuan terapis (psikiater dan psikolog). Kalau tidak terlalu dalam (baru dialami, ada usaha untuk melakukan perlawanan karena sudah cukup dewasa), dapat dilakukan terapi diri. Lakukan relaksasi apabila kejadian traumatis tiba-tiba berkelebat dalam pikiran, memulai aktivitas setiap hari dengan pikiran positif (masih banyak potensi lain pada diri saya, kejadian itu hanya sebagian kecil dari kehidupan saya yang lebih besar, misalnya). Mengakhiri aktifitas setiap hari dengan bersyukur (grateful feeling, “terima kasih hari ini saya telah melakukan ini, itu, ini dan .... dengan baik”. “Terima kasih, saya sehat hari ini ...”



Tulisan ini dibuat sekitar tahun 2005 an.
Pertanyaan diajukan oleh Sekar Wulan Sari dan jawaban oleh Riza Sarasvita Pramudyo (psikolog).


Thursday, August 9, 2012

ISTRI DENGAN KANTONG KRESEK PLASTIK


Dulu awal tahun 2000 an ketika saya masih bekerja disalah satu LSM tentang HIV/AIDS di area Jakarta Pusat, saya memiliki pengalaman menarik yang hingga kini saya tidak mampu melupakannya. Mungkin kali ini saya coba untuk menceritakannya kembali dalam bentuk tulisan, setelah sekian lama dia hanya bertahan dalam kenangan saya.

Awal cerita dimulai dari pekerjaan saya sebagai Manajer Kasus untuk teman2 ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) pada tahun 2000 an disebuah LSM. Pekerjaan saya itu adalah bertanggung jawab untuk membantu memfasilitasi teman2 ODHA mengelola hal-hal terkait dengan isu kesehatan mereka, mulai dari memberikan informasi mengenai kesempatan untuk tes CD4, viral load, konseling kepatuhan minum obat ARV, menjembatani untuk berbicara dengan pihak keluarga mengenai status HIV mereka, lalu juga merujuk ke RS apabila ada teman-teman ODHA yang sudah membutuhkan perawatan lebih, dan karena sebagian besar dari mereka adalah pengguna narkotika suntik, saya juga memberikan informasi mulai dari persoalan adiksi, coping with craving, tempat rehabilitasi, tempat detoks, informasi soal pengobatan substitusi oral dan informasi lain-lain terkait adiksinya.

Hal-hal diluar itu yang paling mengisi warna akan aktifitas pekerjaan saya itu adalah apabila ada yang mulai sakit dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit, jam kerja saya menjadi tidak menentu. Terkadang hingga jauh malam saya masih berada di UGD atau bahkan menjenguk teman-teman dampingan saya. Atau ya karena sebagian besar dari teman-teman itu dari kelas menengah ke bawah, saya juga membantu untuk membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk biaya Rumah Sakit.
Intinya, menjadi Manajer Kasus adalah pengalaman yang sangat berharga. Guru kehidupan saya. Karena berkali kali saya melihat kedukaan, kematian, kemarahan dan lain-lain.

Nah ketika saya sedang mendampingi salah satu teman ODHA yang sedang dirawat di salah satu RS rujukan untuk HIV/AIDS, di kelas 3, dengan segala keterbatasannya itu pada hari ke sekian (tepatnya saya lupa) saya baru menyadari kalau pasien yang disebelah teman saya itu sudah tidak bergeming. Dalam artian, dia hanya menengok ke samping, dengan mata setengah terbuka, sarung yang tersingkap hingga ke perut, baju yang tidak dikancing, tetapi masih bernapas pelan.
Saya hampiri dan saya coba panggil, “Pak, .... pak ....” namun tidak ada jawaban. Saya dekati wajahnya, matanya seperti menatap sesuatu ke satu arah dan saya baru sadar bahwa bapak itu sedang menitikkan air mata. Namun beliau tidak bereaksi akan panggilan saya, atau bahkan tangan saya yang saya kibas-kibas di depan wajahnya.

Saya memutuskan untuk memanggil dokter. Sambil berusaha untuk menenangkan teman saya yang mulai terlihat panik melihat kondisi bapak-bapak disebelahnya.
Tidak lama dokter datang, yang kebetulan adalah seorang dokter yang sedang magang. Melakukan tindakan sedikit yang tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan tadi, dan lalu dia bertanya seperti ini,
“Mbak ngapain disini?”
“Saya sedang jenguk teman saya ini dok” jawab saya sambil menunjuk teman saya itu.
“Hati-hati ya mbak sama pasien yang ini (sambil menunjuk bapak-bapak itu), dia HIV, nular loh lewat air kencing” kata dokter itu lagi dengan wajah datar.
Dan saya terhenyak hingga mulut saya mungkin menganga. Tidak percaya dengan apa yang saya dengar barusan.
Seorang dokter bilang apa pada saya barusan? Kalau HIV menular melalui air kencing? Ya Tuhan ..... kenapa dia bisa jadi dokter ya? Saya menggigit bibir saya kuat-kuat. Nggak percaya dengan apa yang saya dengar barusan.

Tidak lama dokter itu keluar diiringi dayang-dayangnya (baca:suster) dan saya masih berdiri mematung, tergugu mendengar pernyataan dokter barusan.
Rasanya pedih sekali. Saya menatap mata teman saya dan dia menatap saya kembali dengan tatapan mata yang sulit untuk ditafsirkan.
“Coba di cek deh mbak bapak-bapak itu, kok dia nggak gerak-gerak ya?” pintanya.
Lalu saya menghampiri bapak-bapak itu dan merapihkan sarungnya, berusaha memanggil-manggil lagi tetapi tetap tidak ada respon. Saya sentuh kulitnya, tidak dingin.
Saya perhatikan dadanya, masih naik turun, oh berarti beliau masih “ada”, begitu pikir saya.

Lalu tidak lama datang seorang perempuan yang saya duga adalah istrinya. Saya memilih duduk saja, diam dan tenang disamping tempat tidur teman saya. Saya hanya ingin perhatikan perempuan yang baru datang itu.
Dia memanggil suaminya, “Pak ... “
Yang tentu saja tidak ada jawaban.
Sekali lagi dia panggil, “Pak ... pak?”
Dan bapak-bapak itu tetap diam. Tidak bergeming. Saya mulai berdiri dan mendekat.
“Mbak, kok suami saya begini? Kenapa ya?” tanyanya dengan nada mulai agak naik.
“Kurang tahu bu, ketika saya datang bapak sudah seperti itu” kata saya.
Perempuan itu mondar mandir, seperti bingung. Tetapi tidak berani menyentuh suaminya. Hanya memperhatikan dengan lekat, memanggil dan lalu mulai menangis.
“Suami saya kenapa ya mbak? Apakah saya perlu memanggil dokter? Kira-kira dia kenapa ya mbak? Kok kaku begini? Dipanggil2 tidak jawab, padahal barusan saya tinggal tidak seperti ini mbak ....” ujarnya disela isak tangis.
Saya hanya bilang, “Tenang bu .... tadi dokter sudah kesini kok, namun tidak bilang apa-apa” kata saya.
Ibu itu mulai menangis sedikit lebih kencang, pundaknya naik turun, namun tetap mondar mandir panik.
“Sebaiknya saya ngapain ya mbak?” tanyanya lagi
“Berdoa saja ya bu!” jawab saya
“Oh iya benar” jawab ibu itu lagi. Lalu ibu itu menghampiri kursi disamping tempat tidur suaminya dan merogoh sesuatu kedalam tasnya seperti mencari-cari sesuatu.
Ternyata dia menarik sebuah kantong kresek plastik berwarna hitam. Saya bingung. Buat apa ya? Saya pikir dia akan mengeluarkan buku Yasin.

Saya masih berdiri membelakangi teman saya dengan maksud supaya dia tidak usah melihat apapun dari kejadian ini. Lalu ibu-ibu itu duduk disamping suaminya sambil menangis. Lalu kejadian aneh dimulai. Ibu-ibu itu membungkus tangan kanannya dengan kantong kresek hitam tadi, dan dia mulai membelai-belai kepala dan wajah suaminya dengan tangan terbungkus kantong plastik kresek hitam.

Saya membeku dan terpana. Apa-apaan ini? Istrinya sendiri bahkan tidak mau menyentuh suaminya secara wajar dan manusiawi dihela napasnya yang mungkin tinggal sebentar lagi? Ini siapa yang bodoh dan dibodohi sih? Dokter tadi yang tidak menjelaskan masalah kesehatan suaminya dengan benar atau ibu ini yang minim informasi soal penularan HIV?

Belai demi belai dari tangan ibu ke kepala dan wajah suaminya itu seperti menyayat nyayat hati saya. Ingin sekali saya bilang bahwa, “Bu, HIV nggak nular kok meski ibu membelai dengan tangan telanjang seperti biasa. Ibu cium pun tidak akan menular, itu kan suami sendiri bu .... “ namun tenggorokan saya kering, lidah saya kelu, mulut saya terkunci.
Yang saya tahu saya hanya mau menangis.

Tidak tahan melihat pemandangan tersebut karena saya khawatir kemarahan saya meledak, saya memutuskan keluar kamar.
Tidak lama saya berada diluar kamar, saya lihat dokter tadi masuk ke ruangan diiringi dayang-dayangnya (baca:suster) dan tak lama kemudian terdengar ledakan tangis dari dalam kamar. Sudah saya perkirakan itu ledakan duka. Banjir air mata. Kepiluan teramat sangat. Saya bergegas masuk dan melihat ibu tadi sedang menangis tersedu-sedu disamping jenazah suaminya. Kali ini mata bapak itu telah menutup sempurna. Saya perhatikan dadanya juga tidak ada gerakan naik turun seperti yang beberapa saat lalu masih ada. Bapak itu telah ‘pergi’ dengan sentuhan terakhir diusap oleh kantong plastik kresek. Oleh istrinya. Pasangan hidupnya.


 Saya mendekati tempat tidur teman saya. Tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mampu tepatnya. Karena pasti isi pikirannya penuh oleh pemandangan yang baru saja dilihatnya. Teman sekamarnya baru saja ‘pergi’ sementara dia menyaksikannya. Hening. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Saya hanya sedih. Sedih karena kemiskinan informasi mengenai cara penularan HIV masih butuh perjuangan panjang. Betapa sulitnya meluruskan dan memberikan informasi yang benar, sehingga apa yang saya dengar tadi diruangan itu tidak terjadi lagi. Bagaimana seorang dokter bisa memberikan pernyataan yang ngawur, bahwa HIV menular melalui air kencing. Sehingga apa yang saya lihat tadi, bagaimana seorang istri harus membelai kepala dan wajah suaminya yang sudah hendak beranjak ‘pergi’ dengan menggunakan kantong kresek plastik hitam karena takut tertular.
Bagaimana bisa hal itu terjadi? Sementara kalian berbagi hidup telah sekian lama, membuahkan anak, mengarungi waktu dalam senang dan duka, belum tentu juga ibu itu bebas HIV ... Ya?

Entah. Saya tidak sanggup berkomentar apapun lagi. Lemah lunglai. Saya perlu membangun kembali semangat saya. Betapa perjalanan untuk memperjuangkan isu HIV dan AIDS ini masih teramat panjang.

Semoga semangat saya untuk terus bekerja di isu ini tidak dibungkus oleh kantong kresek hitam.
Semoga.
Karena sekarang sudah 2012, tetapi masih saja saya temukan broadcast message di BBM mengenai cara penularan HIV dengan cara menyesatkan. Masih saja ada Rumah Sakit yang menolak pasien HIV dan AIDS. Dan sekarang semakin banyak saya tahu dan melihat ibu-ibu rumah tangga dan anak yang lahir dengan HIV.

Bagaimana dengan itu?

Senin, 06 Agustus 2012 

Thursday, August 2, 2012

Jalan sedikit saja


Rasanya sudah habis kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang masih gue pendam hingga sekarang ke Uke. Tidak ada pilihan lain selain tetap menulis dan menjalani hari seperti biasa. Mencari kesibukan baru, lama, usang, kesana, kemari, sama saja.
Bukankah itu namanya menjalani hidup?

Selalu diingatkan oleh siapapun yang mengenal Uke. Perbincangan oleh adiknya, Bunga, obrolan kecil dengan teman kerja dan suami. Lalu sekian malam yang gue lalui untuk berdoa ditujukan ke Uke almarhum.

Gue menanti kapan luka ini akan sembuh, tapi nampaknya itu akan mengering dengan sendirinya, tidak bisa gue paksakan dengan membabi buta. Jadi ya sudah, nikmati saja pedihnya, rindunya, sedihnya, air matanya, kenangan-kenangannya. Karena hanya itu yang bisa gue lakukan selain berdoa.

Belajar tentang luka akan kehilangan mungkin baru sekarang.
Belajar tentang berdamai dengan perasaan yang dalam mungkin juga baru sekarang. Masih banyak pertanyaan, kenapa, jika, bilamana berterbangan dalam benak, berarti itu pertanda gue belum ikhlas.
Tapi satu hal yang gue yakini, kepergian Uke memang sudah menjadi pilihan Tuhan yang terbaik untuk semuanya. Yakini saja itu.

Dan gue akan terus menulis, terus melanjutkan hari, dimulai  dengan berani membuka folder foto, mulai kembali mendengarkan lagu-lagu yang biasa kami dengar bersama, mulai melihat-lihat lagi semua koleksi desain dia yang ada di kantor gue. Setidaknya gue mengalami kemajuan. Tidak lagi melulu isi air mata, meski kerongkongan terasa seperti tersedak tapi muka gue tidak lagi banjir dan basah seperti yang sudah-sudah.

Mampirlah sebentar dalam mimpi, jika itu masih mungkin, Ke. Tapi jika tidak ya gue sampaikan salam melalui alunan doa diantara dua sujud. Untuk elo, bokap dan adik gue yang sudah bersama-sama elo disana.

02 Agustus 2012 / Kamis
pk. 14.15 WIB



Monday, July 2, 2012

Dear Uke ...


Dear Uke,

Gue baru saja menyelesaikan baca novelnya Zara Zettira ZR, yang judulnya Loe gue End. Cerita tersebut diangkat dari kisah nyata berdasarkan kiriman email salah satu fansnya Mbak Zara yang isinya tentang curhatan dia sehari-hari sebagai pemakai drugs. Tapi ya kebanyakan dia berkisah tentang pakai obat anti depresan dan alkohol.

Bukan kisah tentang drugsnya yang menarik gue untuk bicara ini sama elo. Tapi tentang cerita dia, si tokoh itu namanya Alana, seorang cewek yang jadi model. Ternyata setiap kali dia mabok, menurut teman-temannya dia seperti orang bengong/kemasukan dan bengongnya itu makan waktu berjam-jam lamanya. Lalu temannya ada yang bilang, barangkali rohnya Alana sedang jalan-jalan alias dia adalah seorang astral traveler.

Disana ada diceritain, ketika pada akhirnya Alana menyadari dia seorang astral traveler dan “jalan2” ke tempat dimana kebanyakan orang yang sudah meninggal berada, dia ketemu salah satu temannya yang juga sudah meninggal karena OD. Dan dibuku itu juga diceritakan dengan cukup detail suasana, percakapan, dan lain-lain tentang “alam” tersebut.
Gue sempat tidak berani melanjutkan baca. Seperti biasa ya, gue takut dan parno sendiri. Tapi gue akui cerita itu membekas dibenak gue banget-banget. Berjuta pertanyaan ada di pikiran gue. Masa iya sih suasanya seperti itu? Bahkan gue masih inget banget ucapannya Alana, “Gue jadi bertanya-tanya, apa benar ada surga dan neraka”.

Seandainya benar suasananya seperti itu, seperti yang digambarkan dibuku itu, gue jadi penasaran apakah elo ketemu sama orang-orang/saudara-saudara kita disana dan melakukan aktifitas seperti biasa. Seandainya lo masih hidup Ke, gue akan dengan sangat antusias dan senang hati untuk mendiskusikan ini sama elo. Tentang konsep “kehidupan sesudah mati”. Kepala gue penuh sama pertanyaan pertanyaan seperti apakah elo disana bahagia? Apakah elo disana masih nyimeng? Apakah elo disana bisa ngeband musik-musik metal? Apakah elo disana jalan-jalan dan berpetualang? Apakah elo masih ngedesain majalah disana? Atau bahkan elo sebenarnya melihat gue nggak sih disini?

Bodoh sekali ya pertanyaan gue? Hahahaha. Nggak apa-apa. Ini karena mungkin terlalu menghayati novel yang baru selesai gue baca. Tapi seandainya benar, mungkin gue nggak akan terlalu takut mati, toh sudah ada elo disana, ada bokap gue, ada adek gue, ada kakek nenek kita dan teman-teman lainnya. Sayangnya kita nggak bisa “berkomunikasi” antar alam ya, karena gue bukan astral traveler. Hehehe. Jadi kematian dan kehidupan sesudah mati tetap akan menjadi misteri buat gue. Kadang gue lebih suka “lebih baik tidak tahu daripada tahu dan menyakitkan”. J

Tulisan ini hanya berdasarkan rasa ingin tahu saja, untuk mengeluarkan unek-unek gue karena kita sudah nggak bisa lagi ngobrol seperti kebiasaan kita sebelumnya. Banyak sekali cerita yang pengen gue ceritain. Tapi ditulisan berikutnya deh ya. Gue kangen sama ketawa-ketawa kita, sama curhat-curhatan kita. Gue kehilangan elo! I really do!
Wish you were here and we could share all things ...

Ps. Sekilas tentang astral traveler


2 Juli 2012/Senin
H. Nawi
Rumah STIGMA

Monday, June 18, 2012

MOVE ON


Apa itu MOVE ON? Katanya MOVE ON adalah ketika kita berada pada titik terendah dalam hidup kita, kita harus terus maju. Jangan terlalu lama berkubang dalam kesedihan. Karena hidup terus berputar, waktu terus berjalan, dan masih banyak dari sisa hidup kita yang masih bisa dilakukan selain murung dan diam ditempat karena sedih.

Tanggal 11 November 2011 lalu saya kehilangan seseorang yang sangat berarti untuk saya, seorang sepupu. Namanya Uke. Kami sangat dekat, karena kami sejak kecil hingga beranjak besar sudah dipastikan sering menghabiskan waktu bersama. Banyak hal dalam hidup yang kami lalui bersama. Kenangan indah yang menumpuk.

Dan ketika dia mulai sakit-sakitan tahun lalu hingga pada akhirnya pergi untuk selamanya membuat saya cukup terpukul. Padahal saya biasanya adalah orang yang cepat merasakan dan cepat melupakan, tetapi ternyata untuk kehilangan seorang Uke, hal tersebut tidak dapat saya lakukan. Saya masih saja menghitung hari sudah berapa lama dia pergi, masih menghindari folder dalam laptop yang berisikan kumpulan foto-foto saya dan dia, menghindari pergi ke tempat dimana kami biasa pergi berdua, tidak mau memutar lagu yang biasa kami dengarkan berdua, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Karena apa? Karena dalam hitungan detik, air mata saya sudah jatuh luruh. Muka saya sudah banjir oleh air mata. Ternyata, kehilangan Uke sangat memukul saya.
Ternyata kepergian dia tidak semudah melupakan mantan pacar seperti yang sudah-sudah.
Ternyata dia sangat berarti bagi hidup saya.
Ternyata saya sayang banget sama dia.

Kehilangan dia menyebabkan saya tidak produktif menulis puisi ataupun sekedar catatan harian lagi, karena ya itu, tidak makan waktu lama untuk membuat mata saya basah kemudian menangis tersedu-sedu. Jadi lebih baik saya hindari saja hal-hal yang memicu hal tersebut. Hingga pada akhirnya ketika saya mulai membuka kembali blog-blog saya dan memperhatikan kapan terakhir saya menulis puisi dan catatan harian, saya baru sadar mungkin jalan keluar satu-satunya untuk bisa melepas kepergian Uke dengan tegar adalah dengan menghadapi semua perasaan yang bertalu-talu dibenak saya ini. Mungkin saya harus memaksa diri saya untuk menulis, menjabarkan dengan jelas perasaan-perasaan saya, sehingga menulis bisa menjadi semacam terapi untuk saya. Terapi kesedihan. Dengan menuliskan apa saja perasaan-perasaan saya ketika mengingat Uke. Konon hal itu akan mengikis perasaan ‘sakit’ karena ditinggal seseorang yang berarti buat kita. Lalu mulailah saya menulis tulisan ini.

Lagipula saya pikir, MOVE ON adalah pilihan yang saya punya saat ini. Karena waktu terus berjalan dan Uke tidak mungkin kembali, tetapi kenangan manis saya dan dia tetap akan ada dalam hati dan pikiran saya bukan? Toh hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk dia adalah berdoa untuk kebaikannya ‘disana’.
Katanya ‘waktu’ juga yang akan ‘menyembuhkan’.

Jangan pernah takut untuk melepas rasa sakit. Karena itu hanya beban yang membuat kita sulit untuk melangkah maju. Sedih boleh-boleh saja, itu sangat manusiawi, but we still have to MOVE ON!

Let’s go!



18 Juni 2012 / Senin
Rumah STIGMA 
Foto dari tumblr