Wednesday, April 20, 2011

Effort


Saya sudah berhenti merokok semenjak 7 November 2010. Berarti sekarang sudah sekitar 5 bulan saya melalui hari tanpa berbatang-batang rokok, tanpa asap yang secara sengaja mengepul dari mulut dan hidung saya, sudah tidak sering buang abu rokok dalam asbak, dan alhamdullilah dalam 5 bulan ini saya tidak ke UGD karena sesak napas.

Apakah ada yang hilang dalam hidup saya? Tentu saja. Namanya ‘kenikmatan’, karena kebiasaan sehabis makan merokok, ketika mau ‘pup’ harus merokok, ketika butuh inspirasi merokok, ketika jeda bekerja saya melipir ke dapur untuk merokok, yang paling sulit hingga saat ini adalah mengendalikan diri diantara teman-teman saya yang masih aktif merokok. Terlebih jika kami sedang ingin bertemu di sebuah cafe atau rumah makan, pasti permintaan yang keluar adalah “Yang bisa ngerokok ya!”.

Apakah saya kesal? Ya pada awalnya. “Kok nggak pengertian banget sih?” Begitu pikir saya. Apalagi buat yang suka merokok dalam mobil, saya paling tidak suka dengan kegiatan yang satu ini. Tapi karena faktanya sekarang saya memutuskan untuk berhenti merokok dan saya tahu sulitnya seperti apa saya juga berusaha untuk memahami teman-teman, terutama pasangan saya yang juga seorang perokok. Perokok kretek kelas berat. Kelas kakap.

Berbicara tentang dukungan? Dukungan terbesar saat ini adalah tentu saja dari diri saya sendiri. Kalau saya tidak mendukung diri saya sendiri untuk berhenti merokok? Ya ngapain juga ya? Tapi dukungan itu juga tidak lepas dari pasangan saya. Dia sekarang berusaha sebisa mungkin tidak merokok dekat-dekat saya. Kalaupun iya, dia akan menyorongkan mulutnya kearah berlawanan dari tubuh saya. Atau dia akan sekalian cukup ekstrim berpindah tempat sekedar untuk merokok. Kalau saya sedang suges untuk merokok dan bilang sama dia, “Aku ingin merokok, satu hisap saja!” Dia akan serta merta bilang, “Tidak!” dengan wajah datar tanpa belas kasihan. Saya lalu merengut.

Pernah juga suatu hari saya marah dan nyaris menangis karena ketika saya ingin menemani dia meeting di sebuah rumah makan yang ternyata penuh asap rokok, setelah dia mengenalkan saya ke teman-temannya dan sebelum saya duduk, dia langsung bilang, “Dia langsung pergi kok, tidak duduk disini”. Ya ampun tega sekali. Lalu saya pergi sambil menahan tangis dan ngambek sambil bilang beberapa kalimat lewat BBM.
Dia cuma bilang, “Ya sudah, kembali lagi saja ke sini.” Dan saya kembali ke sana tapi tetap cemberut, lalu setelah dia selesai meeting dan kita kembali ke mobil dia hanya bilang,
“Kamu marah?”
“Iya” jawab saya
“Maaf, tapi aku akan mulai ekstrim sama kamu soal menjadi perokok pasif. Aku pikir lebih baik kamu marah daripada sakit.” Katanya lagi.
Dan ya, saya lumer. Mendadak saya sudah seperti coklat meleleh. Saya menghadiahi dia dengan kecupan sayang bertubi-tubi di pipinya.
Saya bersyukur memiliki dia sebagai pasangan.

Saya pikir, ketika kita memutuskan untuk berhenti dari sebuah kebiasaan yang sudah kronis seperti merokok pastikan bahwa memang itu keputusan yang diambil dalam keadaan tekad bulat. Dukungan tetap dari diri sendiri dan usahakan ada orang terdekat yang akan menciptakan sistem dukungan untuk proses itu. Karena berhenti dari kebiasaan yang memberikan kenikmatan secara langsung untuk membutuhkan usaha yang besar.

Selebihnya? Konsisten saja. Setialah pada yang benar, dan perhatikan apa yang akan terjadi.

20 April 2011

Friday, April 8, 2011

Gusar dini hari!


Saya menghela napas berulang-ulang. Resah. Hati tak tenang, dahi berkerut, kepala terasa seperti kesemutan, dan saya tidak ingin menyulut keinginan untuk mulai merokok lagi, meskipun hanya sebatang.

Semalam saya terbangun tidur jam 2 pagi, lalu baru tidur kembali sekitar jam 6 pagi. Dan jam 9 paginya saya sudah bangun lagi untuk siap-siap berangkat ke kantor. Sejak kemarin saya begitu gelisah mencari dan menganalisa apa yang membuat saya gusar.

Kamu pernah tidak merasakan apa yang saya rasakan? Kamu seperti berputar-putar di kotak yang sama, tanpa arah tujuan, tanpa pola perjalanan yang jelas dan selalu berakhir dengan mengacak-ngacak rambut. Alias b-u-n-t-u.
Sekian banyak pertanyaan berkecamuk dikepala saya. Masa iya begini? Tapi kalau begitu nanti saya begini. Kalau benar dia begitu, berarti dia begini dong? Dan seterusnya.
Saya menghabiskan malam dini hari tadi dengan gusar di tingkat enam. Haha!

Apakah saya gusar karena belum berbaikan juga dengan pasangan saya? Kami belum bertegur sapa sejak 2 hari yang lalu. Tidak ada yang mau memulai duluan. Saya gengsi, tentu saja. Hahaha. Untuk urusan ini saya akui, gengsi saya besar dan bisa jadi karena saya manja ingin yang ditegur duluan.

Tapi bisa jadi juga karena saya cemas akan satu hal yang tidak bisa saya ceritakan disini, tapi itu terkait dengan masalah kesehatan saya. Jujur saya cemas.

Dan terakhir bisa jadi karena tekanan dari kantor. Dua rekan kerja saya mengundurkan diri. Disatu sisi saya sedih, disatu sisi saya menyadari bahwa semua kendali akan kembali ke bahu saya. Artinya saya yang akan melakukan sekian dan banyak hal lagi.

Setelah saya pikir lama dengan mengorbankan kulit dahi yang bisa jadi semakin berkerut dan berlipat, saya berusaha menarik pembelajaran dari apa yang saya rasakan.

Pertama
Saya belajar untuk menahan diri dari keinginan saya untuk memenuhi rasa kangen saya terhadap rokok, asap, sensasi rasa menthol campur tembakau dalam mulut saya. Merasakan dorongan hasrat ide mengalir deras jika didorong oleh tembakau. Tapi karena saya sudah komit untuk tidak merokok lagi, ya saya tahan.

Kedua
Belum berbaikan dengan pasangan. Saya harap masa ‘kosong’ kami berdua tanpa komunikasi ini bisa memberikan waktu bagi kami berdua untuk ‘me time’ dan saling intropeksi diri. Semoga dalam waktu dekat kami bisa berbaikan kembali. Amin. Saya kangen.

Ketiga
Masalah kesehatan. Saya harus disiplin sama diri sendiri, bahwa ketakutan saya untuk mendengar hasil diagnosa dokter, obat, dan lain lain itu justru akan membuat penyakit saya semakin parah. Sudah seharusnya saya melawan keengganan saya dengan hal-hal yang sebut tadi. Jika saya memang masih ingin hidup lebih lama, saya harus SEHAT. Tanpa alasan!

Keempat
Tekanan pekerjaan. Saya rasa saya terlena beberapa waktu kemarin karena memiliki rekan kerja yang pintar2, membuat saya semakin memanjakan rasa bosan yang melanda saya dengan isu pekerjaan ini. Sekarang setelah saya tahu kondisi kantor sedang siaga 1, dua orang rekan kerja mengundurkan diri karena ingin mengembangkan diri lagi, sementara biaya kantor harus tetap dibayar, semua keputusan dan kendali kembali kepada pangkuan saya.


Penat dikepala saya semakin berat, punggung saya terasa semakin pegal. Ini barangkali tantangannya menjadi tulang punggung bagi organisasi? Dan tantangan sebagai pemimpin?

Saya akan terima semua perasaan, kondisi, situasi dan konsekuensi ini. Seperti biasa, saya bukan orang yang mudah gentar untuk menghadapi hal semacam ini.
Tantangannya adalah diri saya sendiri. Bagaimana caranya mengatasi kebosanan akan pekerjaan? Sementara saya harus bertanggung jawab akan organisasi yang saya pimpin.

Kamu tahu apa yang selalu menguatkan saya jika semangat saya turun? Fakta bahwa perjuangan masih panjang, hasil advokasi belum seberapa, diluar sana masih ada sistem yang tidak adil dan tidak berpihak kepada kelompok marjinal, dan kesadaran bahwa saya masih memiliki teman-teman kerja yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri. Gelak tawa dalam canda mereka yang membuat saya masih bertahan hingga detik ini.

Inti dari apa yang saya tulis ini adalah jangan biarkan perasaan yang membawa kita, tapi kita yang harus bisa mengendalikan perasaan kita. Kontrol yang kuat akan hati dan pikiran kita sendiri itu penting!

Jakarta, 8 April 2011

Wednesday, April 6, 2011

Saya belum ingin usai


Mungkin ini namanya lelah berkepanjangan. Lelah berada dalam situasi yang nyaris selalu terulang sama. Entah kenapa, selalu berada pada lingkaran ini.
Pertengkaran yang semestinya bisa dihindari. Rasa muak yang mestinya bisa dikendalikan. Rasa khawatir yang mestinya bisa diredam oleh masing-masing. Tapi pada kenyataan, semua itu terjadi. Selalu. Berulang-ulang. Dan saya mulai merasa berada pada titik jenuh.

Mungkin ya saya memiliki ketakutan yang berlebihan. Tapi itu kan tidak mungkin tanpa sebab. Bisa jadi karena saya pernah dibohongi, saya pernah dikhianati, jadi otomatis nalar saya akan ‘berbunyi’ jika saya ‘merasa’ ada yang tidak beres. Dan jika pada akhirnya saya mengutarakan hal itu kepada pasangan, satu-satunya hal yang saya inginkan hanya ingin diredam, diberikan jawaban yang mudah saja. Bukan malah berbalik marah, tersinggung dan mengatakan kalau saya melakukan fitnah, dll. Tidak adil sekali tuduhan itu. Ada hukum sebab akibat. Ada asap karena api.

Susah sekali mencari jalan tengah dalam sebuah relasi. Apalagi pada sebuah hubungan yang baru dijalani. Semuanya masih pada proses penjajakan karakter pasangan satu sama lain. Dulu saya mungkin menjadi orang yang mudah menyerah, dan saya pasti memilih, tinggalkan saja. Tapi bertambahnya umur, pengalaman dan wawasan, saya tidak ingin selalu mengulang hubungan dari nol lagi, karena capai. Mengulang lagi semua dari nol itu melelahkan. Lebih baik sendiri saja.

Intinya, saya lelah berkelahi. Saya hanya hidup sekali, mengapa kita tidak bisa memiliki sebuah hubungan yang damai damai saja tanpa embel embel orang dari masa lalu yang masih mengganggu sampai sekarang?

Saya paranoid? Seperti yang dia tuduhkan?
Saya rasa tidak. Saya hanya tidak ingin mengulang kebodohan saya di hubungan yang sebelumnya.

Saya khawatir karena saya menyayanginya.
Saya belum ingin usai.

Tapi perempuan dari masa lalu dia begitu mengusik.

6 April 2011