Monday, October 11, 2010

Entah


Sedari tadi kepala saya kembali berisik. Seperti berkelahi. Antara dendam dengan rasa lelah. Sesungguhnya saya lelah sekali merasakan benci yang berkepanjangan ini kepada seseorang. Saya benci dia teramat sangat. Saya membencinya hingga nyaris tiba pada perasaan ingin menghabisi dia dengan tangan kosong saya.
Ini motif yang buruk bukan?
Berarti bisa dibayangkan betapa besar keburukan ada didalam hati dan pikiran saya kepada orang ini.

Saya kembali menghela napas panjang. Menarik dan menghembus berbatang-batang rokok. Saya gelisah. Saya berusaha memejamkan mata dan tenggelam ke perasaan saya sendiri. Sesungguhnya mengapa saya sulit sekali memaafkan dia? Setiap tiba pada keinginan untuk memaafkan dia, semua ingatan tentang apa yang sudah dia lakukan kepada saya tiba-tiba bertalu-talu menyerbu benak saya hingga saya tiba-tiba bernapas dengan berat dan hati saya diliputi rasa ngilu yang luar biasa.
Adakah dia tahu? Akibat perbuatannya membuat hati saya cacat?

Dan yang bisa saya lakukan paling hanya diam, berusaha menikmati semua perih itu.

Biasanya, saya itu cepat marah, tapi cepat reda. Tapi kali ini, saya seperti enggan. Enggan untuk bilang, “sudah”.
Dan berarti saya tahu, kalau kali ini sakitnya sungguh serius.

Saya tidak tahu sampai kapan, harus merasakan kekecewaan ini berapa lama lagi. Semua kenangan itu masih merajalela di tiap sudut hati. Kadang saya rindu. Kadang saya kesal. Kadang saya menangis. Kadang saya tertawa. Kadang saya benci. Kadang ingin sekali saya menghampiri dia hanya untuk bilang, bahwa dia telah berhasil membuat saya terluka. Dia mampu membuat hati saya jadi memar.
Dan dia sanggup membuat saya berdoa dan menanti karma akan dia segera datang.

Dia membuat saya takut untuk memulai sebuah hubungan. Dia membuat saya ragu untuk membuka hati. Dia membuat saya tidak ingin memberikan kata percaya lagi.

Entah.
Entah harus menunggu berapa lagi, hingga hati ini akhirnya lelah untuk membenci dan memutuskan untuk memaafkan dia.

Jakarta,
12 Oktober 2010


Foto: rolrambutkoneng

Thursday, October 7, 2010

Mungkinkah itu Kamu?


Ternyata begini rasanya berada di persimpangan jalan. Ketika kamu menoleh ke belakang, ke samping, ke depan, tidak ada siapa-siapa di sana kecuali dirimu sendiri. Ketika kamu sibuk mencari jawaban yang sebenarnya bisa kamu temukan dalam hatimu sendiri. Ketika kamu sibuk menolak dan menyangkal semua perasaan yang sedang campur aduk dalam jiwamu sebenarnya kamu hanya perlu menerima itu semua sebagai bagian dari proses pendewasaan jiwa. Dan kamu sungguh-sungguh tidak memiliki pilihan lain selain menghadapinya. Entah untuk mencintai, dicintai, memberi, menerima, mengalah, mengikhlaskan, merelakan, meratapi, menangisi, ditangisi, khawatir atau bahkan di khawatiri oleh orang-orang terdekat.

Ketika kamu berusaha menjauh dari orang-orang tercinta dan meyakini bahwa ini salah satu jalan terbaik untuk mengakhiri sebuah hubungan.
Ketika kamu berusaha untuk menerima dan mencintai tubuh dan dirimu sendiri dan pada saat yang bersamaan seluruh logika mu memaksakan hal kebalikan dari itu semua.
Sebenarnya dimana letak kesalahannya?
Mungkin jiwamu yang kerontang
Mungkin rasamu yang beku
Mungkin akalmu yang terlalu meninggikan egomu
Mungkin penerimaan mu akan dirimu memang tidak ada
Hal-hal yang sifatnya semakin ditentang akan semakin keras menerjang

Dan disinilah aku
Sendiri
Kesepian
Hampa
Senyap
Redup
Meratap
Mendambakan sebuah kebahagiaan
Tuhan, apakah aku menjadi bersalah ketika menginginkan itu?
Apakah aku memang sunguh-sungguh tersesat sudah?
Masih bisakah aku berlari kencang seperti yang sudah-sudah?
Masih bisakah aku berjumpalitan dengan segala kekosongan diri ini?
Dan disinilah aku sekarang
Mencari jawaban
Siapa sesungguhnya aku
Dan mengapa semua kejadian ini terus menerus mendera hidupku

Aku terpuruk diujung hati
Meringkuk
Seperti bayi dalam rahim
Menantimu
Menunggumu
Dengan harap-harap cemas
Mengandalkanmu
Untuk menyelamatku
Dan membawaku pergi ketempat dimana aku bisa tenang dan damai
Bisakah itu menjadi Kamu?

Yang aku tahu
Aku hanya menginginkanmu
Aku hanya membutuhkanmu
Aku ingin kamu hadir dan mengisi kekosongan jiwaku
Aku ingin kamu menemaniku


Aku ingin kita menerima rasa ini tanpa syarat
Hanya pasrah menerima isyarat
Dan menemukan dalam diri masing-masing semua firasat
Tentang apapun diantara kita yang mulai tersekat

Tetaplah disana
Tetaplah disini
Tetaplah disitu
Tetaplah dimana-mana

Dimana aku bisa menemukanmu dalam hujan yang mengguyur ujung jalanku
Dimana kebekuanmu layaknya es yang mendinginkan kerontangku
Dimana sentuhan tanganmu bisa menyulut panas di tubuhku
Dimana kecupan ringanmu memang segala hal yang aku inginkan saat ini

Jangan pergi
Tetaplah bersamaku
Sampai takdir yang memisahkan
Sampai salah satu dari kita lelah
Dan merelakan waktu yang akan membuktikan
Siapa yang menjadi malaikat
Siapa yang menjadi iblis
Siapa yang akan menjadi juaranya ....

Dalam Kristalku
Sabtu, 8 November 2008
Pk. 09.28 WIB

Si ganteng Baby Boy


Telah lahir ke dunia sesosok bayi mungil nan ganteng pada tanggal 5 Oktober 2010 di RS Prikasih, Pondok Labu. Saya panggil dia Baby Boy. Karena bayi cowok ini memang belum punya nama. Tidak apa-apa kan saya panggil dia baby boy.

Saya menemani proses ketika si baby boy hijrah ke dunia yang fana ini. Mulai dari dengar jeritan-jeritan ibunya di kamar melahirkan, yang sumpah, membuat saya mengumpat ke diri saya sendiri, kalau satu saat nanti saya hamil, saya nggak mau melahirkan normal. Caesar akan jadi pilihan saya. *nyengir*
Nah, kira-kira sekitar dua jam saya mendengar teriakan adik ipar saya, yang setiap dua menit menjerit. Jujur saja, tidak ada satu kata yang tepat bisa menggambarkan perasaan saya seperti apa. Yang saya rasakan saat itu sungguh-sungguh seperti permen nano nano, campur aduk. Ya ngilu, ya kasihan, ya penasaran, ya mules, ya pusing, dan ya ya yang lainnya.

Tidak lama, ibu saya yang rock n roll itu keluar dari kamar bersalin, ibu saya menghampiri saya sambil menangis dan memeluk saya, “Lan, sudah lahir, adeknya cowok!”
Wow ...
[hening]
Saya takjub. Setelah proses yang menyakitkan itu, perjuangan yang konon katanya antara hidup dan mati, telah tiba didunia seorang bayi cowok. Badan saya sampai merinding. Dan saya ikut menangis deh sama ibu saya.

Selang beberapa waktu kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk masuk kedalam ruangan bersalin dan menghampiri si bayi mungil itu dan saya terpana, sungguh-sungguh terpana. Ada bayi mungil diatas dada adik ipar saya, dengan wajah yang super duper innocent, kulitnya putih sekali, mirip bule. Mata saya tidak berkedip.
Yang terlintas dalam benak saya pertama kali adalah “Indahnya jadi perempuan. “ Bisa mengandung dan melahirkan.
Saat itu juga saya bilang dalam hati, “Terima kasih ya, mama, untuk telah bersusah payah mengandung dan melahirkan aku”.
Kenapa nggak ngomong langsung ke ibu saya? Malu ah kalau bilang langsung ke ibu saya, sepertinya situasi dan kondisi saat itu kurang tepat.
*ngeles*

Di ruang depan kamar bersalin, saya duduk, dan saya senyum-senyum sendiri, masih membayangkan wajah bayi mungil nan ganteng itu. Hebat banget ya Tuhan itu?
Hebat sekali dalam membuat konsep kelahiran manusia. Dimulai dari jatuh cinta, kemudian berpasangan laki –laki dan perempuan, kemudian ada tindakan yaitu bercinta dan pembuahan, kemudian hamil dengan segala kerumitannya lalu proses jerit-jerit itu, yaitu melahirkan. Hadir deh, seorang bayi ganteng. Sungguh-sungguh hebat, Tuhan.

Saya masuk ke ruang khusus bayi, dan ditinggal berdua saja dengan si baby boy. Lalu mulai deh saya iseng. Dihadapan bayi cowok nan ganteng itu saya bolak balik bilang ke dia, “Siapa sih ini? Ganteng banget! Kamu siapa sih? Datang darimana? Sekarang kamu ada dimana? Silau nggak? Apa rasanya didalam perut?”
Tentu saja si baby boy diam saja. Tetap tidur. Sedikit nyureng. Kemudian mulutnya agak monyong sedikit. Tubuhnya bergerak sedikit ketika kakinya saya kitik-kitik. Tapi dia sempat membuka mata dan kita sempet lihat-lihatan beberapa detik. Mungkin karena dia sadar mau difoto? *hadeuh*

Tapi bener deh, rasanya sungguh-sungguh takjub. Serius.
Kepala saya penuh dengan kata-kata,
“Kalau saya punya anak, mukanya seperti apa ya? Sekecil ini nggak? Bakal serepot itu nggak ya kalau saya hamil dan melahirkan? Bakal nakal kayak saya nggak ya kalau sudah besar?”
Saya tertawa geli sendiri.
Saya belum berani cium si baby boy. Keliahatannya si ganteng rapuh banget. Padahal saya suka sekali dengan bau bayi. So pure. Begitu murni.

Dan sekarang, entah kenapa, saya jadi lebih menghargai peran perempuan di kehidupan saya. Terutama untuk ibu saya, entah apa yang ada dibenak beliau, ketika hamil dan melahirkan saya, anak perempuan yang keras kepala ini.

[Nyaris menangis. Sudah ah!]

Tuhan, terima kasih, karena hari ketika baby boy hadir, saya mendapatkan kesadaran, bahwa hidup ini, apapun bentuk dan konsepnya, patut disyukuri apa adanya.
Dan Tuhan, tolong jaga hati dan pikiran ibu saya, untuk tetap mencintai anak-anaknya dengan cinta yang tak terbatas. Amin.

Saya masih ingin hidup lebih lama untuk beri ibu saya senyum!

Jakarta, 7 Oktober 2010