Sunday, September 2, 2012

Kakak angkat saya memilih menjadi waria


Dulu ketika saya masih duduk di sekolah dasar, saya ingat betul, kalau orang tua saya sempat mengangkat anak dari panti asuhan. Seorang anak laki-laki. Lebih tua beberapa tahun dari saya. Namanya Yulianto. Kami sering menghabiskan waktu bersama selayaknya anak-anak. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah. Seluruh keluarga menyayangi dia selayaknya anak sendiri, sedarah sedaging.

Lalu ketika beranjak besar, ada yang berubah. Saya dengar om-om saya mulai kasak kusuk, kalau katanya Yulianto berubah jadi ‘bencong’. Dan nada-nada sumbang mulai berkumandang di rumah. Saya belum paham. Apa itu bencong, apa itu waria. Tapi beberapa om saya sudah mulai wanti-wanti bilang ke saya dan saudara-saudara saya untuk berhati-hati, “Yulianto sudah jadi bencong!”. Entah kenapa, saya saat itu tidak suka mendengarnya. Karena terdengar kasar, tidak sopan, tidak manusiawi, dan saya ambil sikap tidak peduli. Saya tetap memperlakukan Yuli (nama panggilannya saat itu) seperti biasa.

Namun berjalan seiringnya waktu, terlihatlah perubahan-perubahan besar dari seorang Yuli. Dari cara bicaranya, cara duduknya, cara menatap, dan lain-lain. Saya mulai bertanya-tanya. Entah apa yang dikatakan oleh orang tua saya, namun lama setelah itu Yuli tidak ada lagi di rumah. Mama saya bilang, “Yuli sudah mau melanjutkan sekolah, jadi tidak perlu ada di rumah ini lagi”. Saya sedih tentu saja. Kehilangan kakak yang biasa jadi tempat bicara dan bercanda.

Saya lupa tepatnya kapan, namun dari pembicaraan saya dengan orang tua saya, mereka membenarkan kalau Yuli sudah memilih untuk menjadi waria. Saya bertanya, apa itu waria? Mereka bilang waria itu singkatan dari wanita pria. Dan hebatnya, orang tua saya tidak menjelek-jelekkan Yuli. Tidak juga melarang Yuli untuk tetap ke rumah, tidak juga melarang kami anak-anaknya untuk tetap bergaul sama Yuli. Saya ingat betul, ayah saya bilang, “Apapun dan bagaimanapun Yuli, dia tetap bagian dari keluarga kita. Mau jadi bencong atau apalah, dia tetap anak asuh mama sama papa, jadi kita tetap harus saling menghargai dan menghormati”. Kalimat ayah saya itu saya amini 100%. Saya setuju lahir bathin. Buat saya Yuli ataupun siapa namanya nanti, dia tetap kakak saya. Titik.

Selang berapa lama kemudian, Yuli mulai berani main ke rumah lagi, kali ini sudah berubah 180 derajat. Totally change. Dia bahkan minta dipanggil dengan nama yang berbeda. Yolanda. “Jangan panggil gue Yulianto lagi ya nek, nama gue sekarang Yolanda, catet!” begitu katanya sambil meliuk-liuk dan mengedipkan mata, khas gaya bicara yang genit. Saya tertawa dan tidak keberatan sama sekali. Kakak laki-laki angkat saya minta dipanggil Yolanda dan minta diakui orientasi seksual dan gendernya. Saya tidak keberatan. Pada saat itu saya hanya berpikir, okelah dia begitu, itu pilihan hidup dia sendiri. Semua tanggung jawab akan dia pikul sendiri. Saya akan tetap mengasihi dia selayaknya saudara seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah.

Lalu peran dia di rumah mulai berubah. Karena dia mulai usaha salon, dia jadi kapster pribadi di rumah. Mulai dari potong rambut, creambath, pijat, dan lain-lain, dia jadi langganan pribadi kami sekeluarga.

Sesungguhnya saya banyak belajar dari Yolanda. Terutama bahasa-bahasa ‘binan’ atau banci. Kami mulai memperbanyak perbendaharaan kata. Atau sekedar dia cerita tentang kisah cintanya, atau kisah cinta teman-temannya sesama waria. Atau pengalaman teman-temannya, sesungguhnya itu cerita yang sangat menarik, saya menikmatinya. Menambah wawasan.
Atau juga sekedar cerita-cerita dia tentang bronis2 (berondong manis) kecengannya, dia mengaku tidak pernah mau ambil serius, karena itu hanya itu senang-senang. Setahu saya juga Yolanda tidak pernah memiliki pasangan serius, buat saya kehidupan percintaannya itu misterius. Dia lebih suka berbagi tentang pengalaman cinta teman-temannya. Atau tentang laki-laki beristri yang naksir dia. Yang buat saya tercengang, “Kok sudah punya istri masih suka lelaki?” Maka dia akan dengan detail menjelaskan. Sudut pandangnya, pengamatannya, dan lain-lain. Sungguhlah membuat bulu kuduk saya merinding. Dia bilang, “Hati-hati saja ya nek, nggak semua lekong itu lekong tulen. Jij harus hati-hati. Kadang dibelakang jij mereka juga suka jajan sama waria.” Saya hanya menelan ludah dan berusaha mencerna maksud omongannya. Berdoa juga, semoga nanti saya dapat laki-laki yang jujur akan minat dan fantasi seksualitasnya.

Saya beberapa waktu lalu bertanya sama dia,
“Sebenarnya sejak kapan sih lo berubah jadi gini?” dan dijawab sama dia dengan tenang,
“Ih Lan, gue sih sejak umur 5 tahun sudah ‘bolong’ tau di asrama.”
“Siapa yang ‘bolongin’?” tanya saya makin penasaran.
“Ya kakak-kakak asrama gue lah. Tapi gue nggak nyesel. Gue malah menikmatinya. Gue enjoy kok jadi begini.” Jawab dia tetap dengan air muka yang datar dan nada suara yang tenang. Lalu saya tidak menuntaskan pertanyaan saya. Saya pikir cukup. Apalagi yang mau dijadikan argumentasi? Toh dia sudah menekankan, kalau dia menyadari, dia paham kalau dia menikmatinya, dan dia merasa tidak ada masalah dengan itu. Yang saya hanya perlu tekankan ke diri saya sendiri adalah saya tidak akan melarangnya, atau memaksa dia untuk kembali normal menjadi laki-laki dengan orientasi seksual hetero, dia tetap manusia seutuhnya, memiliki kesadaran penuh dalam memilih jalan hidupnya.

Makanya saya suka bingung ya, kenapa sih suka ada orang yang mencibir gay. Bahkan beberapa teman-teman gay saya mengatakan, justru orang-orang yang homophobic (prejudiced against homosexual people) itu memiliki kecenderungan untuk menjadi homo. Istilah kerennya ‘gay in denial’. Karena mereka justru takut untuk ketahuan.

Dulu, ketika Taman Lawang masih ramai, siapa yang tidak tahu daerah situ? Waria-warianya cantik-cantik dan seksi seksi. Kemulusan dan tubuhnya molek-molek melebihi perempuan. Pelanggannya siapa? Laki-laki yang mengaku hetero. Laki-laki yang mengaku normal. Alasan mereka kalau ditanya, “Ah itu kan hanya variasi kehidupan seks gue aja.” Tapi tidak jarang juga banyak dari teman-teman cowok saya yang sudah beberapa kali mengencani waria mengakui kalau ‘service’ waria itu jauh lebih enak dibanding perempuan. Nah! Bagaimana dengan itu?

Saya sih berprinsip, siapalah saya, berhak menghakimi orang lain? Toh saya tidak lebih sempurna dari teman-teman saya yang gay.

“We are all hypocrites. We cannot see ourselves or judge ourselves the way we see and judge others.” 
 
José Emilio Pacheco, Battles in the Desert and Other Stories

Jakarta, 2 September 2012