Dulu
awal tahun 2000 an ketika saya masih bekerja disalah satu LSM tentang HIV/AIDS
di area Jakarta Pusat, saya memiliki pengalaman menarik yang hingga kini saya
tidak mampu melupakannya. Mungkin kali ini saya coba untuk menceritakannya
kembali dalam bentuk tulisan, setelah sekian lama dia hanya bertahan dalam
kenangan saya.
Awal
cerita dimulai dari pekerjaan saya sebagai Manajer Kasus untuk teman2 ODHA
(Orang Dengan HIV AIDS) pada tahun 2000 an disebuah LSM. Pekerjaan saya itu
adalah bertanggung jawab untuk membantu memfasilitasi teman2 ODHA mengelola
hal-hal terkait dengan isu kesehatan mereka, mulai dari memberikan informasi
mengenai kesempatan untuk tes CD4, viral load, konseling kepatuhan minum obat
ARV, menjembatani untuk berbicara dengan pihak keluarga mengenai status HIV
mereka, lalu juga merujuk ke RS apabila ada teman-teman ODHA yang sudah
membutuhkan perawatan lebih, dan karena sebagian besar dari mereka adalah
pengguna narkotika suntik, saya juga memberikan informasi mulai dari persoalan
adiksi, coping with craving, tempat
rehabilitasi, tempat detoks, informasi soal pengobatan substitusi oral dan informasi
lain-lain terkait adiksinya.
Hal-hal
diluar itu yang paling mengisi warna akan aktifitas pekerjaan saya itu adalah
apabila ada yang mulai sakit dan membutuhkan perawatan di Rumah Sakit, jam
kerja saya menjadi tidak menentu. Terkadang hingga jauh malam saya masih berada
di UGD atau bahkan menjenguk teman-teman dampingan saya. Atau ya karena
sebagian besar dari teman-teman itu dari kelas menengah ke bawah, saya juga
membantu untuk membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk biaya Rumah
Sakit.
Intinya,
menjadi Manajer Kasus adalah pengalaman yang sangat berharga. Guru kehidupan
saya. Karena berkali kali saya melihat kedukaan, kematian, kemarahan dan
lain-lain.
Nah
ketika saya sedang mendampingi salah satu teman ODHA yang sedang dirawat di salah
satu RS rujukan untuk HIV/AIDS, di kelas 3, dengan segala keterbatasannya itu
pada hari ke sekian (tepatnya saya lupa) saya baru menyadari kalau pasien yang
disebelah teman saya itu sudah tidak bergeming. Dalam artian, dia hanya
menengok ke samping, dengan mata setengah terbuka, sarung yang tersingkap
hingga ke perut, baju yang tidak dikancing, tetapi masih bernapas pelan.
Saya
hampiri dan saya coba panggil, “Pak, ....
pak ....” namun tidak ada jawaban. Saya dekati wajahnya, matanya seperti
menatap sesuatu ke satu arah dan saya baru sadar bahwa bapak itu sedang
menitikkan air mata. Namun beliau tidak bereaksi akan panggilan saya, atau
bahkan tangan saya yang saya kibas-kibas di depan wajahnya.
Saya
memutuskan untuk memanggil dokter. Sambil berusaha untuk menenangkan teman saya
yang mulai terlihat panik melihat kondisi bapak-bapak disebelahnya.
Tidak
lama dokter datang, yang kebetulan adalah seorang dokter yang sedang magang.
Melakukan tindakan sedikit yang tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan
tadi, dan lalu dia bertanya seperti ini,
“Mbak ngapain disini?”
“Saya sedang jenguk teman
saya ini dok”
jawab saya sambil menunjuk teman saya itu.
“Hati-hati ya mbak sama
pasien yang ini (sambil menunjuk bapak-bapak itu), dia HIV, nular loh lewat air
kencing”
kata dokter itu lagi dengan wajah datar.
Dan
saya terhenyak hingga mulut saya mungkin menganga. Tidak percaya dengan apa
yang saya dengar barusan.
Seorang
dokter bilang apa pada saya barusan? Kalau HIV menular melalui air kencing? Ya
Tuhan ..... kenapa dia bisa jadi dokter ya? Saya menggigit bibir saya
kuat-kuat. Nggak percaya dengan apa yang saya dengar barusan.
Tidak
lama dokter itu keluar diiringi dayang-dayangnya (baca:suster) dan saya masih
berdiri mematung, tergugu mendengar pernyataan dokter barusan.
Rasanya
pedih sekali. Saya menatap mata teman saya dan dia menatap saya kembali dengan
tatapan mata yang sulit untuk ditafsirkan.
“Coba di cek deh mbak
bapak-bapak itu, kok dia nggak gerak-gerak ya?” pintanya.
Lalu
saya menghampiri bapak-bapak itu dan merapihkan sarungnya, berusaha
memanggil-manggil lagi tetapi tetap tidak ada respon. Saya sentuh kulitnya, tidak
dingin.
Saya
perhatikan dadanya, masih naik turun, oh berarti beliau masih “ada”, begitu
pikir saya.
Lalu
tidak lama datang seorang perempuan yang saya duga adalah istrinya. Saya memilih
duduk saja, diam dan tenang disamping tempat tidur teman saya. Saya hanya ingin
perhatikan perempuan yang baru datang itu.
Dia
memanggil suaminya, “Pak ... “
Yang
tentu saja tidak ada jawaban.
Sekali
lagi dia panggil, “Pak ... pak?”
Dan
bapak-bapak itu tetap diam. Tidak bergeming. Saya mulai berdiri dan mendekat.
“Mbak, kok suami saya
begini? Kenapa ya?”
tanyanya dengan nada mulai agak naik.
“Kurang tahu bu, ketika
saya datang bapak sudah seperti itu” kata saya.
Perempuan
itu mondar mandir, seperti bingung. Tetapi tidak berani menyentuh suaminya.
Hanya memperhatikan dengan lekat, memanggil dan lalu mulai menangis.
“Suami saya kenapa ya mbak?
Apakah saya perlu memanggil dokter? Kira-kira dia kenapa ya mbak? Kok kaku
begini? Dipanggil2 tidak jawab, padahal barusan saya tinggal tidak seperti ini
mbak ....”
ujarnya disela isak tangis.
Saya
hanya bilang, “Tenang bu .... tadi dokter
sudah kesini kok, namun tidak bilang apa-apa” kata saya.
Ibu
itu mulai menangis sedikit lebih kencang, pundaknya naik turun, namun tetap
mondar mandir panik.
“Sebaiknya saya ngapain ya mbak?” tanyanya lagi
“Berdoa saja ya bu!” jawab saya
“Oh iya benar” jawab ibu itu lagi. Lalu
ibu itu menghampiri kursi disamping tempat tidur suaminya dan merogoh sesuatu
kedalam tasnya seperti mencari-cari sesuatu.
Ternyata
dia menarik sebuah kantong kresek plastik berwarna hitam. Saya bingung. Buat
apa ya? Saya pikir dia akan mengeluarkan buku Yasin.
Saya
masih berdiri membelakangi teman saya dengan maksud supaya dia tidak usah
melihat apapun dari kejadian ini. Lalu ibu-ibu itu duduk disamping suaminya
sambil menangis. Lalu kejadian aneh dimulai. Ibu-ibu itu membungkus tangan
kanannya dengan kantong kresek hitam tadi, dan dia mulai membelai-belai kepala
dan wajah suaminya dengan tangan terbungkus kantong plastik kresek hitam.
Saya
membeku dan terpana. Apa-apaan ini? Istrinya sendiri bahkan tidak mau menyentuh
suaminya secara wajar dan manusiawi dihela napasnya yang mungkin tinggal
sebentar lagi? Ini siapa yang bodoh dan dibodohi sih? Dokter tadi yang tidak
menjelaskan masalah kesehatan suaminya dengan benar atau ibu ini yang minim
informasi soal penularan HIV?
Belai
demi belai dari tangan ibu ke kepala dan wajah suaminya itu seperti menyayat
nyayat hati saya. Ingin sekali saya bilang bahwa, “Bu, HIV nggak nular kok meski
ibu membelai dengan tangan telanjang seperti biasa. Ibu cium pun tidak akan
menular, itu kan suami sendiri bu .... “ namun tenggorokan saya kering,
lidah saya kelu, mulut saya terkunci.
Yang
saya tahu saya hanya mau menangis.
Tidak
tahan melihat pemandangan tersebut karena saya khawatir kemarahan saya meledak,
saya memutuskan keluar kamar.
Tidak
lama saya berada diluar kamar, saya lihat dokter tadi masuk ke ruangan diiringi
dayang-dayangnya (baca:suster) dan tak lama kemudian terdengar ledakan tangis
dari dalam kamar. Sudah saya perkirakan itu ledakan duka. Banjir air mata.
Kepiluan teramat sangat. Saya bergegas masuk dan melihat ibu tadi sedang
menangis tersedu-sedu disamping jenazah suaminya. Kali ini mata bapak itu telah
menutup sempurna. Saya perhatikan dadanya juga tidak ada gerakan naik turun
seperti yang beberapa saat lalu masih ada. Bapak itu telah ‘pergi’ dengan
sentuhan terakhir diusap oleh kantong plastik kresek. Oleh istrinya. Pasangan
hidupnya.
Saya
mendekati tempat tidur teman saya. Tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mampu
tepatnya. Karena pasti isi pikirannya penuh oleh pemandangan yang baru saja
dilihatnya. Teman sekamarnya baru saja ‘pergi’ sementara dia menyaksikannya. Hening.
Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Saya
hanya sedih. Sedih karena kemiskinan informasi mengenai cara penularan HIV
masih butuh perjuangan panjang. Betapa sulitnya meluruskan dan memberikan
informasi yang benar, sehingga apa yang saya dengar tadi diruangan itu tidak
terjadi lagi. Bagaimana seorang dokter bisa memberikan pernyataan yang ngawur,
bahwa HIV menular melalui air kencing. Sehingga apa yang saya lihat tadi,
bagaimana seorang istri harus membelai kepala dan wajah suaminya yang sudah
hendak beranjak ‘pergi’ dengan menggunakan kantong kresek plastik hitam karena
takut tertular.
Bagaimana
bisa hal itu terjadi? Sementara kalian berbagi hidup telah sekian lama,
membuahkan anak, mengarungi waktu dalam senang dan duka, belum tentu juga ibu
itu bebas HIV ... Ya?
Entah.
Saya tidak sanggup berkomentar apapun lagi. Lemah lunglai. Saya perlu membangun
kembali semangat saya. Betapa perjalanan untuk memperjuangkan isu HIV dan AIDS
ini masih teramat panjang.
Semoga
semangat saya untuk terus bekerja di isu ini tidak dibungkus oleh kantong
kresek hitam.
Semoga.
Karena
sekarang sudah 2012, tetapi masih saja saya temukan broadcast message di BBM
mengenai cara penularan HIV dengan cara menyesatkan. Masih saja ada Rumah Sakit
yang menolak pasien HIV dan AIDS. Dan sekarang semakin banyak saya tahu dan
melihat ibu-ibu rumah tangga dan anak yang lahir dengan HIV.
Bagaimana
dengan itu?
Senin,
06 Agustus 2012